TAPAK KILAS BENTENG JUMPANDANG

Mendung baru saja berlalu. Rinai yang sesaat menyapu Kota Makassar urun menjadi hujan. Langit pun membiru. Matahari yang tadinya tertutup awan kembali menampakkan sinarnya. Meski tergesa menjemput malam. Siluetnya memantul kesegala arah. Menciptakan warna elok menyilaukan mata. Tak terkecuali menerpa sebuah bangunan kuno yang berdiri kokoh di pesisir Makassar.
Bangunan itu menyerupai seekor penyu yang hendak turun ke laut. Orang-orang menyebutnya Benteng Fort Rotterdam. Konon kabarnya, bangunan yang terletak di Kelurahan Bulogading, Kecamatan Ujung Pandang, mengandung sebuah filosofi; bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.

Luas benteng yang mengarah ke lautan Makassar itu adalah 28,595,55 meter bujur sangkar. Ukurang panjang setiap sisi benteng berbeda. Pada dinding bagian barat berukuran 225 meter, sisi bagian utara 164 meter, dan sisi bagian timur 193,2 meter.

Benteng semula dibangun pada saat Daeng Matanre, Karaeng Manguntungi, Tumaparissi Kalonna, menduduki tahta Kerajaan Gowa IX sekitar 1510-1546. Kemudian dilanjutkan oleh Raja Gowa X, I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung yang dikenal juga bernama Karaeng Tunnipalanga.

Pada saat itu orang Makassar menyebut benteng dengan nama Jumpandang, sedangkan orang Bugis menyebutnya Jupp
andang. Benteng itu disebut Jumpandang karena letaknya di sebuah tanjung yang banyak ditumbuhi pohon pandan.

Andi Muhammad Said, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar mengatakan benteng dimanfaatkan untuk mengintai keberadaan musuh dari lautan Makassar. Kerajaan Gowa menganggap hal itu penting untuk menjaga rasa aman rakyat dan pedagang yang berlabuh di perairan Makassar. "Benteng Jumpandang menjadi sebuah markas pertahanan bagi Kerajaan Gowa," kata Said saat ditemui di kantornya, Selasa 2 November lalu.

Dari masa ke masa, benteng Jumpandang terus berbenah. Laporan Pengumpulan Data Peninggalan Sejarah dan Purbakala menyebutkan, benteng kembali ditata oleh I Manggerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin, Raja Gowa XIV sekitar 1643. Tembok benteng dibuat lebih kokoh dengan memasang bebatuan yang bersumber dari Pegunungan Karst di wilayah Maros. Susunan batu berbentuk persegi empat dengan ukuran berfariasi. Namun Said mengatakan tembok benteng berasal dari batu padas yang diambil dari perbatasan Gowa dan Takalar. "Kami masih menemukan sisa-sisa pengambilan batu disekitar wilayah itu," katanya.

Pada masa itu, kerajaan juga membangun parit mengelilingi benteng. Taslim Bostam, 69 Tahun, mengatakan kegunaan parit untuk mempersulit musuh yang hendak menyerang benteng tersebut. "Parit cukup luas. Bahkan kuda pun tidak mungkin bisa melompatinya," kata tokoh masyarakat sekaligus Ketua Rukun Tetangga di Kelurahan Bulogading tersebut.

Sejarawan Makassar Edward L Poelinggomang mengatakan Sultan Alauddin membangun kembali benteng Jumpandang untuk mempertahankan kekuasaan dari tekanan Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang biasa disingkat VOC. "Untuk itu, setiap sisi benteng dipasangi puluhan meriam yang siap digunakan
apabila keadaan genting," kata Edward dalam bukunya berjudul Makassar Abad XIX dalam studi kebijakan perdagangan maritim,

Sultan Alauddin sudah memperkirakan bahwa hubungannya dengan VOC akan mengalami goncangan yang cukup serius. Dan itu terbukti, pada masa pemerintahan I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Boto Mangape, Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI, terjadi pertempuran hebat antara Gowa dan VOC. Pertempuran yang disebut sebagai Perang Makassar itu memuncak pada Desember 1666 sampai November 1667.

Sejarawan Prof Dr Mattulada menyebutkan pasukan VOC yang dipimpin Cornelis Janszoon Speelman melakukan gencatan senjata dengan Kerajaan Gowa dipesisir Makassar selama berhari-hari. Speelman memuntahkan peluru meriam dari kapal perang yang berlabuh di perairan Makassar. Sultan Hasanuddin membalas dengan peluru meriam dari seluruh benteng yang ada di pesisir. "Salah satunya Benteng Jumpandang yang menggempur armada Speelman," kata Mattulada dalam buku berjudul Menyusun Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah

Mattulada menyebut kekuatan Speelman bertambah setelah mendapatkan sokongan bala tentara dari Kerajaan Bone sekitar 6000 orang yang dipimpin Arung Palakka. Speelman menggempur benteng dari arah laut, sedangkan Arung Palakka menyerang dari arah pegunungan.

Speelman akhirnya berhasil menundukkan Sultan Hasanuddin. Mattulada mencatat, 18 November 1667 tercapai sebuah kesepakatan damai antara kedua belah pihak. VOC kemudian memaksa pria yang juga disebut Tumenanga ri Balla Pangkana itu menandatangani Het Bongaais Verdrag yang lebih dikenal bernama Perjanjian Bungaya. Perjanjian damai itu sepakati di Binangan dekat Benteng Panakkukang. Namun Edward mencatat kesepakatan damai itu telah terjadi sejak 28 Juli 1669.

Perjanjian itu sangat menguntungkan VOC. Sebab isinya mengharuskan Makassar membayar biaya perang dan melepaskan seluruh tawanan pengawai VOC. Barang-barang VOC yang disita oleh Kerajaan Gowa juga harus dikembalikan, seluruh benteng pertahanan harus dibongkar, serta mengusir semua bangsa Eropa dari Makassar. VOC juga berhak melarang orang Makassar berlayar ke Maluku, bahkan hanya VOC yang boleh berdagang di Makassar. "Benteng Jumpandang serta perkampungan harus diserahkan kepada VOC," kata Edward mengutip isi perjanjian tersebut.

Speelman kemudian menduduki Benteng Jumpandang. Benteng dijadikan sebagai pusat pertahanan, pemerintahan, dan perekonomian. Pada saat itupula ia mengganti nama benteng menjadi Fort Rotterdam. Dalam Laporan Pengumpulan Data Peninggalan Sejarah, nama Rotterdam berasal dari kota kelahiran Speelman di Belanda.

Hingga kini, Fort Rotterdam melekat sebagai nama benteng tersebut. Bangunan buatan Speelman itu menjadi kekuatan yang mampu menarik wisatawan mancanegara. Para seniman pun mengenang kejayaan Kerajaan Gowa Tallo melalui pertunjukan seni dan budaya. Seiring dengan renovasi bangunan disekitar benteng yang terus menggeliat.


Rumah Panggung Berhias Meriam
I Manggerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin, Raja Gowa XIV tidak hanya menjadikan Benteng Jumpandang sebagai pusat pertahanan. Di bagian dalam benteng, dibangun sejumlah rumah panggung yang megah. Rumah khas Gowa itu menyerupai kediaman raja di Benteng Somba Opu.

Andi Muhammad Said, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar memperkirakan bahwa rumah panggung digunakan untuk memperkokoh perdagangan Kerjaan Gowa disaat Sultan Alauddin naik tahta. Sebab fungsinya sebagai pertemuan para raja-raja. "Acara-acara penting kerajaan banyak digelar dalam benteng," kata Said.

Prof Dr Mattulada dalam buku berjudul Menyusun Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah,S
ultan Alauddin melengkapi benteng dengan meriam yang didatangkan dari Turki dan Aceh. Pemasangan meriam ini sebagai reaksi keras terhadap ulah VOC yang mulai melakukan tekanan pada jalur perdagangan.

Meriam itu sekaligus menjaga kemanan disekitar benteng. Sebab Mattuladda mengatakan, terdapat aktifitas perdagangan dengan Portugis disekitar benteng. Perdagangan itu berupa beras, kayu hitam, dan damar.

Selain sebagai areal perdagangan, terdapat pula perkampungan yang dihuni bangsawan Makassar di sekitar benteng. Petani kerajaan juga membangun permukiman disekitar benteng. Sebab mereka dipekerjakan untuk menanami sawah kerjaaan bernama Kanrobosi yang saat ini dikenal dengan nama Lapangan Karebosi.

Said mengatakan kemegahan benteng dimasa Sultan Alauddin seakan menjadi dongeng belaka. Penyebabnya, bukti-bukti sejarah yang berada didalam benteng maupun disekitarnya tidak berbekas. Apalagi Cornelis Janszoon Speelman merobohkan seluruh bangunan kerajaan. Speelman kemudian menggantinya dengan bangunan-bangunan bercirik gothik yang masih berdiri hingga masa kini. "Sungguh sulit mencari bukti-bukti kejayaan benteng Jumpandang," kata Said.

Hal senada diungkapkan Kepala Museum La Galigo Nuryadin. Ia mengaku tak memiliki koleksi bekas peninggalan benteng Jumpandang. Di kantornya, hanya terdapat beberapa buah batu bata yang digunakan membangun benteng. Itupun belum jelas waktu pembuatan batu bata itu. Hingga kini belum ada penelitian yang memastikan batu bata dipakai pada masa kejayaan Sultan Alauddin atau setelah Speelman menduduki benteng. "Yang kami tahu bebatuan ini dugunakan pada abad 17," katanya saat ditemui di kantornya, Rabu 3 November lalu.

Namun dalam Lontarak Bilang Raja Gowa dan Tallok, Benteng Jumpandang mulai ditembok pada 9 Agustus 1634. Pada masa itu, Sultan Alauddin masih memangku jabatan raja. Sebab ia memerintah pada 1593-1639.

Baik Said maupun Nuryadin mengaku hanya bisa menelusuri bukti sejarah setelah Speelman menduduki benteng. Sebab sisa-sisa pembangunan Speelman masih ditemui hingga saat ini. Salah satunya sekumpulan bangunan kokoh dalam benteng.

Menurut Nuryadin, bangunan yang memanjang di bagian selatan benteng untuk penyimpanan rempah-rempah, bagian timur dijadikan kantor Speelman, dibagian utara kediaman Speelman dan para pedagang, serta dibagian barat kantor perdagangan. Sementara di bagian tengah adalah tempat ibadah umat kristiani. "Dibawah gereja dijadikan sebagai gudang senjata," kata Nuryadin. "Disetiap sudut benteng yang bernama bastion dijaga oleh tentara VOC yang mengawasi keamanan benteng," kata Sitti Fatimah, staf Museum.

Pemerintah Kota Makassar dalam buku Menguak Kebesaran Sejarah Makassar menyebutkan Speelman juga melakukan pembangunan besar-besaran disekitar benteng. Di bagian utara benteng, dibentuk satu perkampungan pedagang yang dinamakan Negorij Vlaardinegen. Ditempat ini para pedagang belanda menetap dan menjual barang danganannya.

Di Bagian utara ditempati para pedagang Melayu, sehingga disebut Kampung Melayu. Pada bagian timur dibangun istana untuk Arung Palaka, Raja bone yang dinamakan Bontoala. Dibangun pula lahan kebun untuk para pedangan Belanda yang disebut Kebun Kompeni disekitar istana Arung Palaka. Kompeni juga memiliki area perkebunan yang disebut Koningsplein (lapangan) yang kini bernama Lapangan Karebosi.

Untuk menjamin kemananan perkebunan, maka dibangun sebuah benteng di daerah Pattunuang sebelah timur Karebosi yang dikenal dengan nama Fort Vredenburg. Kini benteng itu berubah menjadi Bank Negara Indonesia 46 di Jalan Jendral Sudirman. "Kami tak menemukan bekas benteng itu lagi," kata Said sambil menunduk.

Taslim Bostam, 69 Tahun, tokoh masyarakat sekaligus Ketua Rukun Tetangga di Kelurahan Bulogading juga mengatakan hampir seluruh bangunan Belanda di sekeliling benteng sudah raib. Kini tergantikan oleh gedung-gedung baru yang dibangun setelah Indonesia merdeka. Seperti Kantor Pos Makassar, Gedung Legiun Veteran, dan Radio Republik Indonesia. Sejumlah bank swasta dan perusahaan telekomunikasi juga bermunculan disekitar benteng. "Terdapat pula sekitar 40 kepala keluarga pensiunan tentara yang bermukim di belakang benteng," katanya.

TRI SUHARMAN

Tulisan ini juga diterbitkan Koran Tempo Makassar edisi 9 November 2010 berjudul Jumpandang Pusat Ekonomi.
Sumber foto: tri suharman dan bentengkehidupan.wordpress.com.
Bak mutiara yang mengapung di kala senja. Pulau Idaman menghadirkan keindahan panorama yang tak tergilas roda zaman. Membentuk perpaduan warna alam yang artistik nan eksotik.

Pulau indah itu terletak di Palipi, Desa Sendana, Kecamatan Sendana. Berjarak sekitar 38 kilometer dari Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Meski tak terurus dengan baik, pulau itu tetap digandrungi masyarakat. Termasuk saya yang selalu berkunjug kesana setiap saat.

Pulau yang memberbukit itu ditumbuhi pepohonan rindang. Tampak hijau berkilau saat mentari menguras cahanya. Awan yang mencium puncak pulau, seputih kapas menjemput pandangan. Seperti berarak menuju gelombang lautan.

Bagi masyarakat suku Mandar yang tinggal di sekitar pulau tak berpenghuni itu. Terdapat secuil cerita rakyat yang hingga kini masih dipertahankan. Cerita itu tak lepas dari epos La Galigo dengan tokoh Sawerigading. Titisan dewa yang menjadi penguasa bumi.

Al kisah

Suatu ketika Sawerigading berencana mencari sebuah wilayah yang kelak dijadikan tempat menyembah tuhan. Tempat suci yang diinginkan Sawerigading menyerupai Mekkah di tanah Arab. Cucu Bataraguru itu kemudian menunjuk tanah Mandar sebagai lokasi penyembahannya.

Sawerigading memutuskan untuk mengunjungi tempat itu. Agar bisa melihat langsung lokasi yang bakal menjadi pusat peradaban agama itu. Ia pergi dengan membawa ayam jagonya yang berukuran raksasa.

Setibanya disana, Sawerigading kecewa. Harapannya musnah ketika tak menemukan warga di sekitar kampung itu. Padahal ia berharap warga bisa menyambutnya dengan riang. Dengan dilikupi rasa gundah, Sawerigading mencari tahu keberadaan warga. Ternyata seluruh warga yang ada di kampung itu tengah tertidur pulas di rumahnya. Sawerigading pun semakin kesal. Ia bergegas meninggalkan tempat itu bersama ayam jagonya. Sebelum bergegas ternyata ayam jagonya mengeluarkan kotoran di pantai kampung itu.

Asli Yasin, 66 tahun, warga yang tinggal di kampung itu mengatakan kotoran ayam raksasa itulah yang berubah menjadi pulau. Warga sekitar menamainya Pulau Tai Manu, yang artinya Pulau Tahi Ayam. Sementara kampung disekitar pulau disebut Palipi, yang artinya tertidur pulas.

Asli yang mengaku adalah cucu dari Puanna Imau, warga yang sempat menjadikan pulau itu sebagai kebun menuturkan bahwa warga mengeramatkan pulau itu. Mereka menjadikan pulau sebagai media yang menyambungkan antara manusia dengan tuhannya. Secara turun temurun warga melakukan ritual untuk tolak bala dan meminta permohonannya di kabulkan.

Asli menceritakan sekitar 1958, pasukan Andi Selle yang biasa disebut 710 menjadikan pulau tersebut sebagai tempat istirahat. Karena keindahannya, mereka menyebut pulau sebagai idaman. Sampai sekarang pulau itu dinamai Pulau Idaman.

naskah dan foto
TRI SUHARMAN

KASUS CELEBES CONVENTION CENTER

"Sudahlah jangan diungkit lagi, saya kira sudah jelas semua."

Mantan Sekretaris Daerah Sulawesi Selatan Andi Tjonneng Malombassang menyebutkan bahwa mantan Gubernur Sulawesi Selatan Amin Syam bertanggung jawab atas dana sebesar Rp 3,45 miliar untuk pembebasan lahan gedung Celebes Convention Center. Menurut dia, anggaran lahan merupakan tanggung jawab gubernur.

"Proyek itu murni dari pemerintah provinsi," kata Tjonneng saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi pembebasan lahan gedung Celebes Convention Center di Pengadilan Negeri Makassar kemarin.

Kasus pembebasan lahan gedung Celebes menjerat Sidik Salam, Asisten Administrasi Sulawesi Selatan, yang menjadi terdakwa. Ia diduga melakukan korupsi karena membeli lahan negara seluas 6 hektare di Jalan Metro Tanjung Bunga. Pembelian untuk membangun gedung Celebes itu menggunakan dana dari pemerintah provinsi sebesar Rp 3,45 miliar. Lahan itu dibeli dari Hamid Rahim Sese alias Rahim Sese, yang mengaku sebagai penggarap lahan.

Tjonneng menjelaskan, pembangunan gedung Celebes pada 2005 adalah kebijakan langsung Amin sebagai gubernur. Amin, menurut Tjonneng, juga menunjuk lahan pembangunan gedung Celebes di pesisir Jalan Metro Tanjung Bunga melalui surat yang dilayangkan kepada Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Surat itu diteken oleh Tjonneng atas nama gubernur.

Isi surat itu, Tjonneng melanjutkan, meminta Wali Kota mengurus pembebasan lahan tersebut. Sehingga ia menilai pembebasan lahan adalah tanggung jawab Wali Kota. "Wali Kota yang membentuk tim pembebasan lahan," ujarnya.

Tjonneng juga menyebutkan bahwa Amin sebagai gubernur membentuk tim yang bernama Tim Koordinasi Sulawesi Selatan. Tim itulah yang mengawasi pembebasan lahan dan pembangunan gedung Celebes.

Adapun Amin Syam membantah tudingan bertanggung jawab dalam kasus tersebut. "Saya tidak tahu kalau Pak Tjoneng dipanggil sebagai saksi. Sudahlah, jangan diungkit lagi. Saya kira sudah jelas semua," kata dia saat dihubungi kemarin. Amin menegaskan, sebagai gubernur, dia tidak pernah mengurusi pengeluaran anggaran tentang dana proyek.

Sementara itu, Ilham belum bisa dimintai konfirmasi. Menurut ajudannya, Ilham masih berada di Beijing, Cina, mengikuti workshop penanggulangan bencana. Sedangkan juru bicara Wali Kota Makassar, Mukhtar Tahir, mengatakan tudingan Tjonneng sudah masuk hal-hal teknis. Menurut dia, Panitia 9 atau Tim Pembebasan Lahan-lah yang mengetahui hal tersebut.

TRI SUHARMAN | ARDIANSYAH RAZAK BAKRI | MUH SOPHIAN AS
Koran Tempo Makassar edisi 30 Juli 2010

Jaksa-jaksa tersebut sudah dijatuhi hukuman tingkat berat.

Meski telah melayangkan surat keberatan kepada Kejaksaan Agung, empat penyidik yang diduga melakukan pemerasan tetap dicopot jabatannya sebagai jaksa. Mereka adalah tiga jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat serta seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar. "Terhadap jaksa-jaksa tersebut sudah dijatuhi hukuman tingkat berat. Hukumannya sama kok sebelumnya," kata Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy melalui pesan singkat kemarin.

Namun Marwan enggan menyebutkan keempat jaksa tersebut. "Tidak bisa diumumkan sebelum (keputusan ini) diberitahukan kepada mereka," kata dia. Marwan juga belum bisa menentukan kapan surat keputusan Kejaksaan Agung tiba di tangan keempat jaksa tersebut. Menurut dia, surat keputusan terhadap mereka akan dikeluarkan Jaksa Agung Muda Pembinaan.

Kejaksaan Agung telah memeriksa sembilan jaksa yang melakukan tindakan tidak terpuji karena diduga melakukan pemerasan pada Februari lalu. Para jaksa itu bertugas di kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri.

Di kejaksaan tinggi di antaranya Aharuddin Karim, Andi Makmur, Nur Hidayah, Wahyudi, Haryani A. Gali, dan Nurni Parahyanti. Sedangkan di kejaksaan negeri adalah Andi Dachrin.

Marwan tak mau memberitahukan pertimbangan Kejaksaan Agung sehingga menolak sikap keberatan keempat jaksa tersebut. "Wah, sudah tidak boleh dong jadi bocor, karena bisa menyalahi aturan," katanya.

Ia juga mengaku belum mengetahui proses pemberian hukuman terhadap seorang jaksa yang diusulkan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat Adjat Sudradjat. Sebelumnya, Adjat juga mengusulkan agar satu penyidik dicopot jaksanya.

Juru bicara Kejaksaan Tinggi, Irsan Z. Djafar, saat disambangi di kantornya tidak berada di tempat. Seorang staf Kejaksaan menyebutkan, Irsan sejak Senin lalu berangkat ke Jakarta karena ada urusan dinas. Namun saat dihubungi melalui telepon selulernya tidak diangkat. Pesan singkat yang dikirim Tempo juga belum dibalas.

TRI SUHARMAN
Koran Tempo Makassar
edisi 28 Juli 2010


Kasus Bantuan Sosial

BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Sulawesi Selatan menegaskan, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat hingga kemarin belum pernah berkoordinasi berkaitan dengan penanganan kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial.

Kepala Subbagian Hukum dan Humas BPK Sulawesi Selatan Daniel Sembiring mengatakan lembaganya belum pernah menerima surat dari Kejaksaan untuk berkoordinasi mengusut kasus yang diduga merugikan negara sebesar Rp 8,867 miliar pada 2008 itu. Penjelasan tersebut diperoleh setelah Daniel menanyakan secara langsung kepada atasannya, Kepala BPK Sulawesi Selatan Abdul Latief. "Sampai detik ini belum ada," ujar Daniel, mengutip penjelasan Abdul Latief, kemarin.

Meski begitu, Daniel melanjutkan, BPK siap berkoordinasi dengan pihak terkait, termasuk dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang diberitakan masih memantau kasus ini.

Adapun pihak Kejaksaan tampaknya lebih memilih sikap bungkam. Kepala Seksi Ekonomi dan Keuangan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat Samsul Kasim meminta agar hal itu ditanyakan kepada juru bicara Kejaksaan Tinggi, Irsan Z. Djafar.

Tapi Irsan pun enggan berkomentar. Dia malah meminta agar hal itu ditanyakan kepada Samsul. "Kalau hal teknis, saya tidak tahu," katanya. Dia hanya menyatakan Kejaksaan serius menangani kasus itu dan belum mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan).

Padahal, dua hari lalu, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat Adjat Sudradjat mengaku segera menghentikan kasus bantuan sosial tersebut. Sebab, Kejaksaan tidak menemukan adanya perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan dalam kasus itu.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar Abdul Muttalib menyatakan sejak awal sudah menduga Kejaksaan tak serius menangani kasus ini. "Logikanya di mana, kalau ada institusi yang memiliki data valid, tidak pernah dikonfirmasi dan berkoordinasi."

Lembaga Antikorupsi Kecam Kejaksaan

"Seharusnya kasus ini sudah masuk penyidikan," ujarnya.

MAKASSAR -- Anti-Corruption Committee (ACC) Sulawesi Selatan, pegiat antikorupsi, mengkritik rencana kejaksaan menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial. Direktur Anti-Corruption Committee Abraham Samad menegaskan, kasus bantuan sosial 2008 sudah pasti mengarah pada korupsi.

"Bohong besar kalau tidak ada unsur pidana korupsi di sana," ujarnya saat dihubungi kemarin. "Mahasiswa semester VI fakultas hukum saja sudah bisa menyimpulkan kasus dana bantuan sosial berimplikasi korupsi."

Menurut Abraham, laporan Badan Pemeriksa Keuangan telah menyatakan anggaran bantuan sosial 2008 yang dikucurkan pemerintah provinsi kepada 926 penerima proposal dinyatakan tidak wajar.

Badan Pemeriksa Keuangan dalam laporan pemeriksaannya menyebutkan, dana bantuan sosial yang dikucurkan pada Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pada 2008 senilai Rp 35,48 miliar diduga terindikasi merugikan keuangan negara. Sebanyak Rp 8,867 miliar dinyatakan positif merugikan keuangan negara.

Namun Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat Adjat Sudrajat menyatakan Kejaksaan tidak menemukan adanya perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan dalam kasus tersebut. Meski mengakui adanya indikasi kerugian keuangan negara, Kejaksaan berkilah bahwa itu belum bisa menjadi dasar untuk menyimpulkan adanya unsur melawan hukum. Karena itu, Kejaksaan berencana menghentikan penyelidikan kasus tersebut.

Abraham menegaskan mendukung sikap Lembaga Bantuan Hukum Makassar yang berencana menggugat Kejaksaan Tinggi berkaitan dengan rencana penghentian penyelidikan kasus tersebut. Apalagi laporan BPK menyatakan tidak memberikan pendapat (disclaimer) terhadap laporan keuangan pemerintah provinsi. "Seharusnya kasus ini sudah masuk penyidikan," ujarnya.

Koordinator Komite Pemantau Legislatif Sulawesi Selatan, Syamsuddin Alimsyah, mengatakan kasus ini sudah seharusnya menjadi perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, menurut dia, Kejaksaan terkesan lepas tangan. "Padahal faktanya jelas," ujarnya.

Menanggapi hal ini, juru bicara Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat, Irsan Z. Djafar, menyatakan Kejaksaan serius menangani kasus itu. Sebab, kasus tersebut masih terus diselidiki. "Kasus ini sedang didalami. Jadi Kejaksaan belum mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan)," katanya.

| ICHSAN AMIN | TRI SUHARMAN
Koran Tempo Makassar Edisi 23 Juli 2010


Kejaksaan Agung akhirnya mengeluarkan hasil pemeriksaan terhadap kasus pemerasan jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat serta Kejaksaan Negeri Makassar. Hasilnya, empat jaksa diminta dicopot dari jabatannya.

"Tiga dicopot sebagai jaksa dan satu dicopot dari jabatannya," kata Adjat Sudradjat, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat, di kantornya kemarin.

Adjat menjelaskan, empat jaksa itu terbukti menerima uang hingga jutaan rupiah saat menangani sejumlah kasus. Sehingga Kejaksaan Agung memberi hukuman kedisiplinan. "Jadi bukan pemerasan, tapi menerima sejumlah uang," kata dia.

Meski demikian, Adjat mengatakan empat jaksa itu masih diberi kesempatan untuk mengajukan tanggapan atas keputusan tersebut. Tanggapan jaksa, kata Adjat, telah dikirim ke Kejaksaan Agung untuk kembali dikaji, sebelum hukumannya ditetapkan. "Apa tanggapannya itu diterima atau tidak, itu urusan nanti," kata dia.

Adjat juga enggan menyebutkan keempat nama jaksa tersebut. Ia hanya memberi bayangan bahwa jaksa itu berkantor di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat. "Nanti (namanya disebutkan) setelah keputusannya bersifat permanen. Karena bisa saja hukumannya menjadi ringan, bisa pula semakin berat," kata dia.

Ia menambahkan bahwa dirinya juga mengusulkan sejumlah jaksa untuk dicopot dari jabatannya. Salah satunya jaksa dari Kejaksaan Negeri Makassar yang diduga memeras dalam kasus narkotik dan obat terlarang. Namun lagi-lagi Adjat enggan menyebutkan nama dan jumlah jaksa tersebut. "Jangan dululah."

Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung memeriksa sedikitnya sembilan jaksa yang diduga memeras pada Februari lalu. Mereka di antaranya Palio Matandung, Andi Makmur, Aharuddin Karim, Nurhidayah, Wahyudi D. Trijonodi, Andi Muhammad Dachrin, Nurni Parahyanti, dan Rifiyanto.

Nurhidayah, Palio, Makmur, Aharuddin, dan Wahyudi diduga memeras Jusmin Dawi, bos PT Aditya Reski Abadi, tersangka yang menjadi buron kasus kredit fiktif Bank Tabungan Negara Syariah. Kasus pemerasan itu bermula ketika Jusmin membeberkan rekaman percakapan antara dirinya dan sejumlah jaksa ke media. Jusmin mengaku diperas hingga ratusan juta rupiah.

Sedangkan Dachrin dituduh menerima uang sebesar Rp 60 juta dari Ina, istri terpidana narkoba Teksuyanto. Uang itu diberikan dengan maksud agar hukuman suaminya dapat dikurangi menjadi enam bulan. Namun kenyataannya, Teksuyanto dituntut dua tahun penjara oleh jaksa dengan putusan 1 tahun 2 bulan. Karena kesal, Ina akhirnya membuka kisahnya kepada media.

Adapun Nurni dan Rifiyanto adalah jaksa penuntut umum dalam kasus merek sound system. Dalam kasus itu, kedua jaksa tiba-tiba mencabut upaya banding terhadap putusan pengadilan yang memvonis Rusdi, Andre, dan Wempi tanpa alasan jelas. Belakangan muncul isu suap terhadap kedua jaksa itu.

Palio Matandung saat dimintai konfirmasi mengaku belum menerima hasil pemeriksaan dari Kejaksaan Agung. Namun ia kembali membantah kabar bahwa dirinya pernah memeras Jusmin Dawi. "Saya berani berhadapan dengan dia," kata Palio.

Palio mengaku mengalami kesulitan setelah isu pemerasan itu dituduhkan kepadanya. Sebab, ia tidak bisa mengurus sejumlah berkas untuk perbaikan nasibnya di Kejaksaan. "Penyesuaian ijazah saya ditolak, padahal ini belum terbukti," kata dia.

Sementara itu, Nurhidayah saat dimintai konfirmasi juga mengaku belum menerima hasil pemeriksaan itu. "Saya tidak tahu, saya belum terima," kata dia sambil menutup pintu ruangannya.

TRI SUHARMAN
Koran Tempo Makassar
Edisi Jumat 25 Juli 2010
Kasus Pungutan Liar Pasar Pabaeng-baeng

Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menetapkan Direktur Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya Djamaluddin Yunus sebagai tersangka. Ia terjerat kasus korupsi lantaran diduga melegalkan pungutan terhadap pedagang Pasar Pabaeng-baeng.

Amirullah, Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, menjelaskan bahwa Djamaluddin diancam hukuman di atas 4 tahun penjara. "Ia melakukan pungutan dalam pembagian kios pasar," kata Amirullah ketika ditemui di kantor kejaksaan kemarin.

Djamaluddin, kata Amirullah, segera diperiksa. Namun kejaksaan akan mengorek lebih dulu sekitar 40 pedagang sebagai saksi mulai Kamis mendatang. "Sesuai aturan, kami panggil para saksi dulu, baru tersangka," kata dia.

Saat dimintai konfirmasi melalui telepon selulernya, Djamaluddin tak bersedia menanggapi langkah kejaksaan. "Saya sedang di jalan. Nanti saya tabrakan!" ujar dia. Aktivis Koalisi Mahasiswa Untuk Bangsa Makassar, yang pernah disuruh oleh Djamaluddin mengantarkan surat, salah satunya ke Tempo, menganggap kejaksaan keliru. "Belum melakukan pemeriksaan sudah menetapkan tersangka," ujar Muhammad Syahban Munawir, koordinator kelompok itu.

Kejaksaan Bisa Tahan Djamaluddin

Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Amirullah mengatakan kejaksaan bisa saja menahan Djamaluddin Yunus apabila diperlukan. Untuk menahan seorang tersangka, kata dia, harus memenuhi syarat, di antaranya dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya.

"Kita lihat saja hasil pemeriksaan nanti. Kalau semua unsur terpenuhi, ya, kami tersangka bisa kami tahan," ujar Amirullah saat menjelaskan status Direktur Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya itu sebagai tersangka dalam kasus pungutan pedagang Pasar Pabaeng-baeng kemarin.

Menurut dia, kemungkinan ada tersangka lain sangat terbuka mengingat kasus pungutan pedagang dilakukan atas dasar surat keputusan yang diteken Djamaluddin. Memang, katanya, tidak ada uang negara yang diambil. Dugaan korupsi itu karena tersangka memungut duit masyarakat. "Bukan uang negara," kata dia.

Kejaksaan menemukan bukti adanya pungutan liar terhadap 18 pedagang. Nilai pungutan sekitar Rp 800 juta, yang diperankan oleh petugas pasar. Modusnya sebagian tidak ada bukti pembayaran, sebagian berkuitansi. Besarnya pungutan mulai dari ratusan ribu rupiah hingga di atas Rp 100 juta.

Di tempat terpisah, Wakil Wali Kota Makassar Supomo Guntur menolak menjawab pertanyaan wartawan ihwal kasus Pabaeng baeng. Supomo sangat dinanti Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar untuk menjelaskan perkara tersebut. "Saya tidak tahu kalau itu," kata dia.

Sekretaris Komisi B Hasanuddin Leo mengatakan sudah berusaha memaksa Wakil Wali Kota Supomo untuk berbicara soal pedagang. Namun Supomo menolak dengan alasan banyak agenda penting. "Pusing," kata Hasanuddin.

Sementara itu, belasan pedagang yang dirugikan oleh pungutan liar siap memberikan keterangan kepada kejaksaan. "Akan kami ungkap semuanya," ujar Haji Mustajab, salah seorang pedagang. Menurut dia, Wakil Wali Kota Supomo harus bertanggung jawab atas kasus ini. Supomo pernah mengatakan tidak akan ada pungutan kepada pedagang setelah Pasar Pabaeng-baeng direhabilitasi. "Dia bahkan mempertaruhkan jabatannya jika ada pungutan," ujar Mustajab.

Aktivis Koalisi Mahasiswa Untuk Bangsa Makassar mengancam akan menggelar demo besar-besaran atas penetapan Djamaluddin Yunus sebagai tersangka kasus pungutan. "Kami menuntut penyidik memperlihatkan bukti keputusan penetapan tersangka itu," ujar Muhammad Munawir, koordinator kelompok yang mengaku juga sebagai pendamping pedagang. Namun pedagang tak merasa dibantu oleh aktivis

SK DJAMALUDDIN

Inilah dasar pungutan yang dilegalkan melalui Surat Keputusan Direksi PD Pasar Makassar Raya Nomor 900/29.a/PD.Psr/I/2010 tertanggal 21 Januari 2010, yang diteken Direktur Utama PD Pasar Makassar Raya Djamaluddin Yunus.

1. Front toko Rp 200 juta

2. Kios atau los Rp 25 juta

3. Hamparan Rp 5 juta

TRI SUHARMAN | ABDUL RAHMAN | SUKMAWATI
Koran Tempo Makassar Edisi 09 Juni 2010


Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat akan menelisik proyek pengadaan pin emas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan 2010. Kejaksaan mencium adanya penyalahgunaan anggaran dalam proyek tersebut.

"Kami sudah menerima informasi terkait kasus itu dan akan melakukan pengumpulan bahan keterangan," kata Amirullah, Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi, kemarin.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, Sekretariat DPRD Sulawesi Selatan telah menyediakan pin emas bagi 75 anggota Dewan. Setiap anggota menerima dua pin, sehingga total pin yang diberikan sebanyak 150 buah. Dana yang digunakan sebesar Rp 352 juta melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2010.

Sebelumnya, Inspektorat Sulawesi Selatan mendesak sekretariat Dewan mengembalikan dana Rp 176 juta ke kas negara. Inspektorat menduga itu adalah dana yang digelembungkan dari pembelian pin emas.

Amirullah mengatakan, apabila data yang diperoleh Kejaksaan sudah lengkap, kasus akan ditingkatkan pada tahap penyelidikan. Setelah itu dilakukan pemanggilan saksi. "Semua akan kami lakukan secepatnya," kata dia.

Saat ditanya apakah salah satu saksi yang bakal dipanggil adalah Abdul Kadir Marsali selaku Sekretaris Dewan, Amirullah enggan berkomentar. "Nantilah itu, kita kumpulkan data dulu," kata dia.

Sementara itu, Inspektorat Sulawesi Selatan menyatakan siap dipanggil oleh Kejaksaan untuk menyampaikan data dan hasil pemeriksaan proyek pin itu. Azikin Solthan, Kepala Inspektorat Sulawesi Selatan, mengatakan ada kejanggalan dalam pelaksanaan proyek pengadaan pin Dewan itu.

"Pokoknya nantilah dibuka jika betul Kejaksaan meminta," kata dia kemarin. Azikin mengaku belum mengetahui adanya rencana Kejaksaan menyelidiki kasus dugaan penyimpangan itu.

Inspektorat beberapa hari lalu meminta klarifikasi dari Sekretaris Dewan Sulawesi Selatan. Namun Sekretaris Dewan tidak memenuhi permintaan inspektorat tersebut. "Terserah dia (Sekretaris Dewan) kalau tidak memberikan klarifikasi," kata Azikin.

Tenri Olle Yasin Limpo, Ketua Komisi A DPRD Sulawesi Selatan, mengatakan memang ada kejanggalan dalam kontrak proyek pengadaan pin itu. Namun, ia mengatakan, kejanggalan itu hanya berupa kesalahan penulisan pada kontrak.

"Semestinya 150 biji pin Dewan, bukan 150 pasang pin," kata dia.

Hingga kemarin sore, Sekretaris Dewan belum bisa dimintai klarifikasinya karena tidak berada di ruang kerjanya. Telepon selulernya juga tak aktif saat dihubungi.

TRI SUHARMAN | INDRA O Y
Koran Tempo Makassar Edisi 10 Juni 2010
Foto :http://media.tvone.co.id

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Makassar dianggap ikut campur dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan kampus Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar, yang diusut kejaksaan. Bentuknya, Dewan mengeluarkan rekomendasi agar Kejaksaan Negeri Makassar tidak menahan tersangka korupsi Direktur Politeknik Agus Budi Hartono.

"Kami berpikir ini sudah berlebihan. Tidak perlu (rekomendasi) itu. Cara seperti itu telah masuk pada materi pokok perkara," kata Amir Syarifuddin, Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Makassar, sambil menunjukkan surat rekomendasi yang diteken Ketua DPRD Kota Makassar Ince Adnan Mahmud.

Amir mengingatkan bahwa kejaksaan tidak berada di bawah struktur pemerintahan Wali Kota Makassar, sehingga isi surat Dewan yang meminta Wali Kota mendesak kepala kejaksaan dianggap tidak relevan. Ia memastikan bahwa surat rekomendasi itu tidak bakal masuk dalam pertimbangan hukum kejaksaan.

Surat Dewan tersebut berkaitan dengan laporan Komisi A DPRD Makassar, setelah menerima pengaduan pengacara Agus Budi Hartono. Menurut Yusuf Gunco, Ketua Komisi A, penahanan Agus dapat menghambat proyek kampus senilai Rp 1 triliun, yang merupakan kebanggaan Kota Makassar.

"Kami sangat mengharapkan kejaksaan menerima rekomendasi itu, tanpa mengurangi ataupun mengintervensi kewenangannya sebagai penyidik," ujar Yusuf kepada Tempo saat ditemui di ruang kerjanya kemarin.

Yusuf menambahkan, rekomendasi Dewan tidak ditujukan secara langsung kepada kejaksaan. Kejaksaan hanya mendapat tembusan. "Rekomendasi itu kami serahkan ke Wali Kota. Wali Kota yang nantinya menyurati kejaksaan," ujar Yusuf.

Proyek Politeknik Itu

LOKASI KAMPUS:

- Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanaya

- Luas rencana area kampus: 74 hektare

- Yang belum dibebaskan: 18,5 hektare

- Biaya pembebasan: Rp 59 miliar

- Uang negara yang diduga dikorupsi: Rp 14,5 miliar

TERSANGKA:

1. Agus Budi Hartono
Jabatan: Direktur Politeknik
Ditahan sejak 11 Mei, bebas 4 Juni

2. Kasman
Jabatan: Pejabat Pembuat Komitmen sekaligus Kepala Operasional Pelayanan Informatika Politeknik
Ditahan 11 Mei, bebas 4 Juni

3. Zulkifli Nurdin
Jabatan: Camat Biringkanaya
Sempat ditahan pada 18 Mei, beberapa jam kemudian dibawa ke rumah sakit

4. Ardiansyah Rahman
Jabatan: Lurah Untia
Ditahan 11 Mei

SUKMAWATI | TRI SUHARMAN
Terbit di Tempo Makassar 080610


Hakim Pengadilan Negeri Makassar, Parlas Nababan, akan meminta kejaksaan menjemput Wali Kota Parepare Zain Katoe secara paksa, jika ada indikasi ia mengulur waktu dengan tidak datang ke sidang putusan kasus korupsi penyertaan modal perusahaan daerah.

"Sepanjang alasannya masih diterima, tidak masalah. Tapi kalau ada indikasi mengulur waktu, kami akan memerintahkan kejaksaan untuk menjemputnya," kata Parlas akhir pekan lalu.

Tapi ia menilai alasan Zain, yang tidak mengikuti sidang pekan lalu karena berdinas ke Jakarta, masih bisa diterima oleh majelis hakim.

Sidang putusan Zain dua kali ditunda. Dua pekan lalu, ia mengaku tidak bisa mengikuti sidang karena mengalami diare. Pekan lalu, ia kembali tidak mengikuti sidang dengan alasan sedang mengikuti rapat penting di Kementerian Dalam Negeri.

Parlas memaklumi dua alasan yang diungkapkan oleh Zain tersebut. Ia mengaku belum menemukan adanya iktikad untuk mengulur waktu persidangan. "Tidak bisa kita paksakan kalau terdakwa sakit. Begitu pula dengan alasan mengikuti sebuah rapat penting yang tidak bisa diwakili orang lain," katanya.

Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Makassar Amir Syarifuddin juga mengaku masih bisa menerima alasan Zain Katoe absen dari persidangan. "Mereka sudah menunjukkan bukti tidak bisa mengikuti persidangan," kata dia.

Mengenai kewenangan untuk menjemput paksa Zain, ia belum bisa memberi penjelasan. "Itu kewenangan majelis hakim," kata dia.

Faizal Silenang, kuasa hukum Zain Katoe, yang dimintai konfirmasi kemarin, menilai majelis hakim memiliki kewenangan untuk memanggil paksa seorang terdakwa. Tapi, selama terdakwa memberi alasan jelas, pemanggilan paksa diharapkan tidak terjadi. "Kami ini patuh terhadap hukum. Tapi kita tidak perlu berandai-andai lah," kata dia.

Faizal juga belum bisa memastikan kapan kliennya bisa mengikuti sidang putusan. "Kita lihat saja nanti," kata dia.

Zain dituntut dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta karena diduga terlibat pemberian modal usaha kepada perusahaan daerah PT Pares Bandar Madani sebesar Rp 1,5 miliar, yang bersumber dari anggaran daerah. Tindakan itu dianggap melanggar peraturan daerah karena modal diberikan secara penuh kepada perusahaan. Seharusnya pemberian modal pemerintah hanya sebesar 51 persen, sisanya modal awal perusahaan 49 persen.

Zain, yang menjabat komisaris dalam perusahaan di bidang perdagangan, industri, dan umum, juga belakangan diduga fiktif. Akibatnya, dia tidak bisa mempertanggungjawabkan anggaran yang dikeluarkan kepada perusahaan. Adapun sidang putusan akan kembali digelar pada Rabu mendatang.

Dalam sidang terpisah pekan lalu, Direktur PT Pares Bandar Madani Fres Lande dijatuhi vonis tiga tahun penjara karena merugikan negara Rp 1,1 miliar. Ia juga didenda sebesar Rp 150 juta dan diminta mengembalikan uang pengganti sebesar Rp 1,1 miliar.

TRI SUHARMAN
Koran Tempo Makassar edisi 31 Mei 2010

Asisten Intelijen Sulawesi Selatan Suyono dicopot dari jabatannya. Sejumlah informasi yang diterima Tempo menyebutkan bahwa Suyono akan ditarik ke Kejaksaan Agung. Surat pencopotan sudah dikirim ke kejaksaan tinggi. "Ia hanya menjadi jaksa fungsional," kata sumber di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

Suyono adalah mantan Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang. Ia diduga mempermulus pembebasan Gayus Tambunan, pegawai golongan III Direktorat Jenderal Pajak, yang diduga menggelapkan duit Rp 28 miliar, dari vonis pengadilan. Sumber itu menuturkan, Suyono akan digantikan oleh Dedy Siswadi, yang kini Kepala Kejaksaan Negeri Kendari.

Adjat Sudradjat, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat, mengaku telah mendengar informasi pencopotan Suyono. "Ada (informasi penggantian itu)," kata dia. Namun ia tak memastikan kebenarannya. "Kan ada pelantikan," dia menjelaskan.

Mengenai penyebab pencopotan, Adjat enggan berkomentar dengan alasan belum menerima surat keputusan tersebut. Namun, mengenai penggantinya, Adjat mengatakan, "Sudah tahu kok nanya lagi," katanya sambil masuk mobil dinasnya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didik Darmanto menegaskan, Kejaksaan Agung tak pernah mencopot Suyono. "Kejagung tidak mencopot, Suyono hanya dialihtugaskan ke Kejaksaan Agung," kata Didik. Didik mengatakan Suyono hanya saksi kasus Gayus. "Pak Suyono hanya sebagai saksi untuk memberitahukan bagaimana proses pemeriksaan berkas perkara Gayus," kata dia.

Suyono dipastikan sudah mengetahui adanya mutasi karena surat keputusan sudah dikeluarkan pada 4 Mei lalu. "Hanya tinggal menunggu serah-terima jabatan saja," kata dia. Didik menyatakan ada kemungkinan Suyono menjadi kepala subdirektorat. "Saya belum tahu direktorat apa, tapi kemungkinan bagian intelijen," kata dia.

Saat dimintai konfirmasi, Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat Suyono tak memastikan pencopotannya itu. Ia mengiyakan sambil tertawa. "Kata siapa? Info belum masuk," kata Suyono ketika dihubungi kemarin.

Suyono mengaku belum menerima surat resmi pencopotan dan penarikannya ke Kejaksaan Agung. "Kalau kamu dengar infonya dari Kejaksaan Agung begitu, ya, bisa jadi benar," kata dia. "Saya belum menerima surat. Biasanya distribusinya terlambat."

Suyono tak mempermasalahkan jika dicopot dari jabatan Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan-Barat. Dia mengaku selama ini tetap bekerja meskipun digoyang aksi demonstrasi penolakan terhadapnya. "Ya, kerja aja," kata dia.

Mengenai sanksi administrasi berupa tak naik pangkat selama satu tahun akibat menangani perkara Gayus, Suyono lagi-lagi tertawa. "Tanya saja ke Kejaksaan Agung," kata dia.

Sumber Tempo lainnya menyebutkan bahwa Suyono dicopot karena maraknya penolakan kehadirannya oleh para aktivis mahasiswa Sulawesi Selatan. "Ia dirongrong oleh publik," kata dia. Sejak dilantik pada 5 April lalu, Suyono didemo oleh 30 mahasiswa yang tergabung dalam Pena Center selama dua hari. Mereka menganggap Suyono memperburuk citra Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

TRI SUHARMAN | AYU CIPTA | ROSALINA

Koran Tempo Makassar Edisi 08 Mei 2010
Sumber Foto: Tempointeraktif.com

Kasus Korupsi Pembebasan Lahan CCC

Asisten Bidang Administrasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Sidik Salam kemarin ditahan di Kejaksaan Negeri Makassar. Tersangka kasus korupsi pembebasan lahan gedung Celebes Convention Center (CCC) itu ditahan setelah menjalani pemeriksaan lebih dari empat jam.

Sidik sempat mangkir dari pemanggilan jaksa penyidik pada Kamis pekan lalu. "Bukti-buktinya cukup kuat. Tidak ada alasan untuk tidak menahan tersangka," kata Kepala Kejaksaan Negeri Makassar Yusuf Handoko.

Menurut Yusuf, Sidik bertanggung jawab atas lenyapnya Rp 3,4 miliar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sulawesi Selatan. Pembebasan lahan berlangsung ketika Sidik menjabat Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan. "Dia sebagai pemegang kas dalam proses pembebasan lahan," ujar Yusuf.

Sidik sempat meronta ketika sejumlah jaksa memegang erat tangannya. Dia lantang berucap, "Saya dikorbankan. Saya dizalimi. Tim 9 yang mestinya bertanggung jawab." Tim 9 yang dimaksudkan Sidik adalah panitia pembebasan lahan yang dipimpin oleh Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.

Ahmad Farid, kuasa hukum Sidik Salam, menambahkan, Ilham-lah yang bertanggung jawab selaku ketua pembebasan lahan di Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar, tersebut. "Klien saya hanya bertugas membayar ganti rugi," ujarnya. Farid mendesak kejaksaan memeriksa Wali Kota Makassar.

Kasus lahan CCC berbuntut korupsi lantaran tanah yang dibebaskan ternyata milik negara, yang tak berpenghuni. Namun, lahan itu diklaim oleh warga, salah satunya Abdul Hamid Rahim alias Rahim Sese, yang divonis empat tahun penjara dan denda sebesar Rp 200 juta. Terpidana juga harus membayar uang pengganti senilai Rp 2,5 miliar. Dalam perkara ini kejaksaan menemukan kerugian negara Rp 3,4 miliar.

Ilham, yang dimintai konfirmasi oleh Tempo, menyangkal terlibat perkara dugaan korupsi Sidik Salam. Kendati dirinya Ketua Tim 9 atau panitia pembebasan lahan, Sidik tidak bisa campur tangan langsung mengatur teknis pembebasan. "Saya hanya terlibat proses administrasinya. Secara teknis diatur Badan Pertanahan Nasional Makassar," kata Ilham.

Kalaupun Tim 9 harus bertanggung jawab, bukan dirinya saja yang menanggung. Anggotanya terdiri atas wakil BPN, camat, dan lurah. "Saya tidak sendiri di tim," kata dia. Soal adanya desakan supaya kejaksaan memeriksa, Ilham mengatakan, "Nanti kita lihat."

APBN 2005 Kucurkan Biaya Gedung CCC Rp 60 Miliar

-Rp 27,144 miliar untuk exhibition hall
-Rp 9,393 miliar buat plenary hall
-Rp 11,4 miliar untuk ballroom
-Rp 7,9 miliar side development
-Rp 4,7 miliar dana untuk tambahan pembuatan tanggul

2005
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kota Makassar membentuk Tim 9.

Ketua: Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin
Anggota:

-Perwakilan BPN Makassar
-Asisten Bidang Pemerintahan Makassar
-Kepala Bagian Pemerintahan Makassar
-Camat
-Lurah

Dana pembebasan lahan Rp 4 miliar

5 September 2006
Sidik Salam selaku pemegang kas pembebasan lahan CCC, waktu menjabat Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan.

4 Agustus 2009
Abdul Hamid Rahim alias Rahim Sese divonis empat tahun penjara. Denda Rp 200 juta dan membayar uang pengganti Rp 2,5 miliar atau tambahan hukuman dua tahun, jika tak sanggup membayar.

8 April 2010
Sidik Salam ditahan Kejaksaan Negeri Makassar.

TRI SUHARMAN | IRMAWATI

terbit di Koran Tempo Makassar 09 April 2010
sumber foto : http://picasaweb.google.com


Mahkamah Agung tengah menyiapkan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Makassar. Rencana itu harus sudah terwujud paling lambat pada 2011. Makassar terpilih karena dianggap memiliki potensi korupsi besar untuk wilayah timur Indonesia.

"Sehingga harus diawasi melalui Pengadilan Tipikor agar bisa mengurangi potensi korupsi di Makassar," ujar Ardhian, Ketua Biro Pengawasan Hakim Komisi Yudisial, setelah dialog di Warung Kopi Phoenam kemarin.

Menurut dia, tingkat korupsi di Kota Makassar sangat tinggi, sama seperti enam wilayah lain, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Samarinda, Palembang, dan Medan.

Ardhian mengungkapkan potensi korupsi Makassar diukur dari besarnya jumlah anggaran pendapatan dan belanja daerah yang dikelola setiap tahun, sumber daya alam, potensi konflik, serta kekerabatan alias kolusi pejabat maupun tokoh masyarakat yang kental.

Dialog dihadiri anggota Komisi Reformasi Hukum Nasional, Muji Kartika Rahayu; anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Lies Sulistiyani; Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat Heny Widyaningsih; dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar Muhammad Muthalib.

Ia menambahkan, pembentukan Pengadilan Tipikor di sebuah tempat juga berdasarkan aduan warganya terhadap perilaku jaksa dan hakim. Komisi Yudisial, kata dia, mengungkapkan perilaku jaksa nakal di Makassar cukup besar. Untuk seluruh Indonesia berjumlah sekitar 8.000 aduan.

Ia menjelaskan, dibentuknya Pengadilan Tipikor berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009, ketika adanya anggapan bahwa penanganan korupsi di suatu wilayah terkesan dualisme. Perkara korupsi diperiksa oleh dua lembaga peradilan yang berbeda, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi dan pengadilan umum, sehingga merugikan sejumlah pihak.

Keistimewaan Pengadilan Tipikor adalah jajaran penegak hukumnya hakim ad hoc yang diseleksi oleh Mahkamah Agung. Ia mendapat informasi bahwa Mahkamah Agung kini kesulitan penjaringan hakim ad hoc. Selain membutuhkan waktu lama, mencari hakim yang independen sulit. "Sekarang MA akan melakukan rekrutmen," katanya.

Heny Widyaningsih meyakini pembentukan Pengadilan Tipikor dapat mengurangi tindak pidana korupsi di Kota Makassar. "Ini terobosan untuk penuntasan kasus korupsi di sini," ujar dia.

Namun langkah ini diragukan efektivitasnya oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar Muhammad Muthalib. Menurut dia, Pengadilan Tipikor bisa saja senasib dengan pengadilan umum, yang kesulitan menyelesaikan kasus karena sumber daya manusianya yang kurang bagus.

Abraham Samad, pengamat hukum, mengatakan keterlibatan hakim ad hoc tidak bisa menjadi tolok ukur berhasilnya pemberantasan korupsi. Hakim ad hoc juga harus diawasi ketat. "Mereka bukan malaikat," katanya.

TRI SUHARMAN

terbit di Koran Tempo Makassar edisi 08 april 2010
sumber foto : http://blog.imanbrotoseno.com/
Palang Merah Indonesia Makassar melaporkan sebanyak 36 dari 3.000 kantong darah yang disumbangkan para pendonor pada 2009 positif terinfeksi HIV. Muchtar Tahir, pengurus PMI Makassar, mengatakan kasus itu ditemukan setelah memeriksa setiap kantong darah yang telah diisi oleh pendonor. "Tetapi sudah kami musnahkan," kata Muchtar dalam rapat koordinasi dengan Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Makassar di Balai Kota siang ini.

Muchtar mengaku pihaknya masih mengantongi nama-nama pendonor yang positif HIV/AIDS itu. Ia berharap Komisi bisa menangani terhadap mereka. "Selama ini koordinasi ke pemerintah belum dilakukan, tetapi kami siap memberikan data bila dibutuhkan," katanya.

Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Makassar Supomo Guntur meminta PMI lebih selektif mendistribusikan kantong darahnya ke rumah sakit. Ia khawatir darah yang diberikan kepada pasien malah terinfeksi HIV/AIDS.

"Itu sangat berbahaya bagi masyarakat. Saya minta pengawasannya bisa diperketat. Sebaiknya ada alat pendeteksi secara dini," katanya.

Supomo yang juga Wakil Wali Kota Makassar itu berjanji akan membicarakan kasus itu secara internal. Kemudian meminta instansi yang terkait seperti Dinas Kesehatan dan Sosial bisa mengambil langkah tegas.

Ketua Palang Merah Indonesia Makassar Syamsu Rizal mengimbau masyarakat tidak panik dengan adanya temuan kantong darah yang terinfeksi HIV.
"Kami memiliki laboratorium khusus untuk memeriksa darah sebelum dibawa ke rumah sakit. Ketepatan pemeriksaan laboratorium 99,9 persen," katanya.

Rizal menjelaskan, pihaknya telah melakukan proses pendonoran darah secara ketat. Warga yang ingin mendonorkan darah harus menjalani pemeriksaan teknis berupa tekanan darah, berat badan dan usia.

Setelah dinyatakan tidak ada masalah, kata Rizal, warga memasuki proses pendonoran darah. Darah yang sudah berada dalam kantong kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa, supaya bebas dari penyakit kelamin, hepatitis, dan HIV/AIDS.

"Darah yang dinyatakan sehat akan disimpan ke bank darah untuk keperluan rumah sakit. Sedangkan yang terinfeksi penyakit langsung dimusnahkan," katanya.

Mantan Legislator Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Makassar dari Partai Demokrasi Kebangsaan itu membenarkan bahwa jumlah darah yang terinfeksi HIV/AIDS tahun lalu sebanyak 36 kantong. Jumlah itu meningkat dari 16 kantong di 2008.

"Untuk tahun ini kami sudah menemukan satu kantong yang terinfeksi HIV/AIDS," katanya.

Ia menambahkan bahwa pihaknya tidak lepas tangan terhadap pendonor yang terinfeksi HIV/AIDS. Sebab alamat lengkap yang sudah tercatat sebelum mendonor diberikan kepada Komisi Penanggulangan HIV/AIDS untuk ditangani.

TRI SUHARMAN

sumber : tempointeraktif
sumber foto : http://img.m.kompas.com
Program bantuan hukum gratis untuk warga miskin yang diterapkan Pemerintah Kota Makassar diduga telah dimanfaatkan oleh orang mampu. Dari 11 kasus yang sedang ditangani pemerintah kota, empat pelapor di antaranya berprofesi layaknya orang mampu. Mereka adalah Akbar Hasan (Pemimpin Redaksi Tabloid Gema), Ilyas Saliman (pensiunan pegawai negeri sipil), Syamsuddin (wiraswasta), dan Baso Daeng Naba (pedagang).

Takbir Salam, Kepala Subbagian Bantuan Hukum Kota Makassar, mengakui adanya warga mampu yang meminta bantuan hukum secara gratis. Namun permohonan itu akan ditolak. "Program bantuan hukum hanya diberikan kepada warga miskin," kata dia kemarin.

Untuk menghindari terjadinya hal tersebut, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah surat keterangan miskin dari kelurahan. Menurut Takbir, pihaknya telah menemukan beberapa pelapor yang tergolong warga mampu. Salah satunya Akbar Hasan, Pimpinan Redaksi Tabloid Gema. Warga Jalan Maccini Baru itu melaporkan dugaan penipuan dan penggelapan sejumlah uang dalam bisnisnya. "Kami tidak lanjuti laporannya."

Takbir menambahkan, dari 11 kasus yang dilaporkan warga, hanya empat yang telah diserahkan kepada tim bantuan hukum pemerintah kota, yang diketuai oleh Hasbih Abdullah, di antaranya laporan kasus tanah di Sudiang oleh Darwis, imam masjid Kelurahan Sudiang, Kecamatan Biringkanayya. Palloho bin Jumalang, petani di Kelurahan Paccerakkang, Kecamatan Biringkanayya, melaporkan masalah tanah. Sedangkan Nurlina, ibu rumah tangga warga Jalan Kandea, melaporkan kasus kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Barru.

Hasbih Abdullah mengaku telah menyelesaikan dua kasus, yakni kasus Darwis dan Nurlina. Menurut dia, pihaknya tidak mengurusi warga mampu yang memanfaatkan program bantuan hukum itu. Sebab, proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah kota. Pihaknya hanya menangani proses hukumnya.

Mustagfir Sabri, snggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Makassar, menilai titik masalahnya adalah sosialisasi yang kurang sehingga program tersebut dimanfaatkan warga mampu. Ia yakin, bila sosialisasi dioptimalkan, seluruh warga akan mengetahui syarat program itu.

"Sampai sekarang kami belum punya data yang valid, apa memang masyarakat sudah tahu program bantuan hukum gratis itu," kata dia.

Politikus Partai Demokrasi Kebangsaan itu mengatakan sosialisasi program tak hanya dilakukan melalui media massa, tapi pemerintah harus terjun langsung ke masyarakat. "Seperti kita ketahui, warga miskin jarang baca koran, jadi besar peluang mereka tidak tahu," ujarnya.

Ia mendesak agar janji pemerintah memberikan bantuan hukum secara gratis kepada warga miskin dipenuhi. Menurut dia, warga miskin membutuhkan perlindungan hukum untuk memenuhi haknya. "Semua orang punya hak untuk mendapat bantuan hukum, tapi warga miskin harus dikedepankan," katanya.

TRI SUHARMAN

Terbit di Koran Tempo Makassar edisi 230310
Sumber foto : http://politikana.com
Sejumlah tokoh lintas agama meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak ragu datang ke Makassar untuk membuka Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 besok. Walau bakal marak aksi demo, Makassar cukup aman untuk dikunjungi kepala negara.

"Kami sangat berharap Bapak Presiden tak ragu untuk datang," kata Nyoman Suartha, Ketua Persatuan Hindu Dharma Indonesia, Sulawesi Selatan, dalam jumpa pers Persiapan Muktamar Nahdlatul Ulama di Hotel Clarion Hotel, Sabtu lalu. "Tiga tahun lalu kami menggelar kegiatan keagamaan dan Presiden mau datang. Sekarang kami berharap beliau juga hadir pada acara saudara kami, umat Islam," ujarnya.

Hal yang sama dikemukakan pendeta Daniel Sopamina, perwakilan dari Persatuan Gereja Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan dan Barat. Menurut dia, Makassar adalah wilayah yang memiliki tingkat keamanan yang terjaga. "Kalau ada yang bilang Makassar tidak aman, itu dosa," katanya. Daniel mengungkapkan, kerusuhan yang terjadi di Makassar sebenarnya tidak terlalu parah sebagaimana diberitakan media massa.

Kiai Haji Abdul Rahman, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Sulawesi Selatan, juga meminta masyarakat memperlihatkan sifat santun dan ramah kepada setiap tamu. "Orang tua kita rela berutang demi tamu. Sekarang harus ditumbuhkan kembali sifat itu," katanya.

Alwiuddin, Sekretaris Muhammadiyah Sulawesi Selatan, menimpali, memilih tempat digelarnya muktamar tidak gampang. Banyak daerah yang mengajukan tempat tapi ditolak. "Oleh sebab itu mari kita sukseskan kegiatan ini. Kalau sukses dan aman, kita semua akan merasakan senang," katanya.

Pada saat yang sama, Pemerintah Kota Makassar menjamin kelancaran Muktamar NU yang dibuka oleh Presiden. "Kami berjanji selama muktamar tidak akan ada demo," ujar Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.

Makassar, kata dia, sering diidentikkan dengan wilayah tak aman dan kota yang selalu dihiasi unjuk rasa yang berakhir rusuh. "Muktamar NU baru pertama kali digelar di luar Jawa. Harus kita tunjukkan citra yang baik," imbau Ilham kepada aktivis yang hendak mendemo Presiden.

Gubernur Syahrul Yasin Limpo menginstruksikan kepada aktivis mahasiswa untuk tidak mengganggu kedatangan Presiden dengan kasus Bank Century. Menurut Syahrul, persoalan Century mesti dikesampingkan dulu. Dia mengajak mahasiswa lebih melihat sisi positif dengan kedatangan Presiden. "Kalau suasana kurang baik, investasi tidak akan mau masuk ke Sulawesi Selatan," tutur Syahrul.

TRI SUHARMAN | SULFAEDAR PAY

Terbit di Koran Tempo Makassar edisi Senin 22032010
Sumber foto : http://eddymesakh.files.wordpress.com
Pemerintah Kota Makassar terpaksa menaikkan biaya retribusi sampah karena tertekan oleh biaya operasional yang terus meningkat. Tahun lalu, pemerintah kota sampai merogoh kocek hingga Rp 15 miliar untuk membuang sekitar 400 ton sampah per harinya.

"Retribusi yang bisa ditarik selama setahun hanya Rp 2 miliar," kata Muhammad Kasim, Kepala Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Makassar, kemarin. Biaya itu sebagian besar untuk belanja solar buat 140 unit truk dan gaji petugas serta pegawai tetap lebih dari 400 orang.

Dia menjelaskan, sumber pendapatan pengelolaan sampah antara lain dipungut dari pedagang pada 10 pasar tradisional, sekitar Rp 6 juta per bulan. Dari permukiman penduduk, yang retribusinya antara Rp 2.000-10 ribu per bulan. "Kalau tidak ada penyesuaian tarif, pemerintah akan terus mengalami kerugian," katanya.

Ia berharap kenaikan tarif dapat mendongkrak pendapatan dari sampah pada 2010 menjadi Rp 6,5 miliar. Angka ini masih jauh dari biaya operasional yang diproyeksikan, yakni Rp 17 miliar.

Itu lantaran terdapat empat kecamatan tambahan yang harus ditangani kantor dinas ini, yaitu Wajo, Biringkanayya, Mamajang, dan Ujungtana. "Sampah di wilayah itu sebelumnya dikelola Perusahaan Daerah Kebersihan. Setelah perusahaan dihapus, urusan sampah menjadi tanggung jawab kami," ucap dia.

Dalam Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 1999 tentang Persampahan, tarif sampah dari rumah-toko yang menyatu dengan rumah tinggal ialah Rp 45 ribu per bulan. Dalam aturan yang baru nanti akan naik menjadi Rp 60 ribu per bulan. Rumah dan toko di kawasan perdagangan, yang semula Rp 35 ribu, retribusinya menjadi Rp 45 ribu per bulan. Pelayanan angkutan sampah sistem kontainer ukuran 6 sampai 10 meter kubik dari Rp 100 menjadi Rp 140 ribu.

Pemerintah berjanji tarif yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan dan Retribusi Persampahan/Kebersihan tidak membebani warga. Kenaikannya sudah mempertimbangkan pendapatan per kapita 1,5 juta warga Makassar, yakni Rp 24,05 juta. "Tarif baru dipandang terjangkau oleh warga," kata Wakil Wali Kota Makassar Supomo Guntur.

Supomo menambahkan, besarnya tarif dipicu oleh besarnya dana operasional sarana dan prasarana persampahan serta pembelian bahan bakar minyak. "Tujuan utamanya agar tercipta kota yang bersih dan warga peduli dengan kebersihan," ujarnya.

TRI SUHARMAN

terbit di koran tempo makassar edisi 19 maret 2010
sumber foto : http://agung43150.files.wordpress.com
PT Putra Putra Nusantara, selaku pengelola Pulau Kayangan, menganggap Pemerintah Kota Makassar tidak adil. Tunggakan royalti perusahaan senilai Rp 920 juta hasil temuan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mesti ditinjau kembali.

"Royalti itu timbul karena adanya kesepakatan membuat usaha. Tapi usaha di Pulau Kayangan tidak berjalan. Kalau kami dipaksa membayar, di mana rasa keadilannya," kata Andi Januar Jauri Darwis, juru bicara PT Putra Putra Nusantara, kemarin.

Menurut Januar, sejak 2006 perusahaannya mendesak pemerintah kota agar merevisi perjanjian kerja sama. Perjanjian yang sudah diteken sulit diterapkan karena terbentur oleh perizinan. Bisnis yang hendak dibangun adalah sebuah usaha ilegal, seperti lokalisasi dan perjudian.

Januar mengaku sudah memperkirakan bakal sulit mewujudkannya. Selain tersandung di meja hukum, hal itu akan mengundang reaksi publik. "Pemerintah mengabaikan hak kami. Giliran menyangkut uang, kami ditagih tanpa mempertimbangkan nasib kami," katanya.

PT Putra, menurut Januar, tidak bakal mampu membayar tunggakan itu. Sebab, keuntungan yang diperoleh tak seberapa. Manajemen bersedia dipanggil untuk mengkaji kembali kerja sama itu. "Komitmen kami sebagai pengelola pasti menyelesaikan kewajiban, tapi pemerintah juga harus mempertimbangkan hak kami," ujar Januar.

Rusmayani Madjid, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Makassar, menyambut baik niat PT Putra. "Kami juga tidak mau ada yang dirugikan," kata dia seraya menambahkan bahwa pemerintah ingin bertemu dengan PT Putra untuk membicarakan masalah tersebut.

Surat dari pemerintah sudah dilayangkan ke PT Putra pada Rabu lalu. "Kalau sudah tiga kali dipanggil lantas tidak datang, kami akan menyerahkan masalah ini kepada tim penegakan peraturan daerah," katanya.

Berdasarkan perjanjian Nomor 556.1/023/S.PERTA/DIPARDA, PT Putra mendapat hak mengelola Pulau Kayangan dekat Pantai Losari selama 25 tahun, terhitung mulai 2003. Sebagai konsekuensinya, PT Putra dibebani royalti setiap tahunnya sebesar Rp 1,3 miliar. Mulai 2003 hingga 2009, PT Putra baru sanggup membayar Rp 253 juta, sehingga menunggak Rp 920 juta.

TRI SUHARMAN

terbit di koran tempo makassar edisi 19 maret 2010
sumber foto : http://www.pacamat.com





Dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Penataan dan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau, disebutkan setiap pekarangan rumah, kantor, hotel, pabrik, dan bangunan yang berfungsi untuk perdagangan wajib ada tanamannya. Barang siapa tidak menaati kewajiban itu, akan dikenai sanksi pidana kurungan paling lama enam bulan dan denda Rp 5 juta.

Rancangan usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Makassar itu juga disebutkan setiap lahan seluas kurang dari 120 meter persegi wajib ditanami minimal 1 pohon pelindung, areal di atas 120 sampai 240 meter persegi ditanami satu pohon ditunjang dengan taman. Berikutnya tanah seluas 240 hingga 500 meter persegi harus ditanami 2 pohon, dan tanah seluas di atas 500 meter persegi wajib ditanami 3 pohon.

Sedangkan tanah yang sulit ditanami pohon karena lokasinya sempit, harus ditunjang dengan tanaman bunga dengan sistem pot dan taman gantung. Dalam aturan ini juga berlaku bagi pengusaha perumahan, mereka diwajibkan untuk melakukan penghijauan pada lokasi jalur hijau dengan seizin pemerintah setempat.

Untuk kantor, hotel, pabrik dan bangunan perdagangan dengan luas tanah sekitar 120 hingga 240 meter persegi wajib ditanami satu pohon pelindung dan bangunan dengan luas tanah diatas 240 meter persegi wajib ditanami tiga pohon.

Stefanus Swardi Hiong, juru bicara Rancangan Peraturan Daerah Penataan dan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau DPRD Makassar mengatakan, kualitas lingkungan sejumlah kota besar termasuk Makassar semakin buruk. Itu dipicu oleh tingginya tingkat pencemaran udara akibat kendaraan dan industri, terjadinya banjir dan pemanasan global.

Permasalahan lingkungan, mengakibatkan warga mengalami stres karena terbatasnya ruang yang tersedia. Sehingga memicu meningkatnya kerawanan sosial. "Olehnya itu kita semua perlu menjaga lingkungan," kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Metode dalam menjaga lingkungan, kata dia, membutuhkan sistem yang cukup ketat. Salah satunya memberi kewajiban bagi warga untuk menanam pohon dan memberikan sanksi bagi warga yang melanggar. Dalam rancangan aturan, pengawasan sanksi dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja yang diwajibkan melakukan patroli setiap saat.

Asisten Pemerintahan Makassar, Ruslan Abu, mendukung usulan Dewan. Sebuah kota harus menjaga lingkungannya supaya menciptakan kenyamanan. Peraturan ini masih dalam tahap penggodokan. "Kami belum teliti seperti bagaimana isi aturannya," katanya.

TRI SUHARMAN

Bisa pula di baca di http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/03/19/brk,20100319-233694,id.html
sumber foto : http://edu2000.org



Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Sulawesi Selatan mendesak Pemerintah Kota Makassar agar PT Istaka Karya selaku kontraktor pembangunan Gedung Tower Balai Kota Makassar diberi sanksi sebesar Rp 200 juta. Badan Pemeriksa menemukan adanya indikasi pelanggaran dalam pembangunan proyek tersebut.

Kepala Bidang Bangunan Gedung Dinas Pekerjaan Umum Makassar Tajuddin Lamase mengatakan, dalam surat Badan Pemeriksa yang dilayangkan ke Pemerintah Kota sejak Februari 2010, PT Istaka diduga telah melanggar kontrak pembangunan gedung, sehingga harus dikenai sanksi.

Dugaan pelanggaran kontrak itu ditemukan pada saat PT Istaka melakukan pengerjaan proyek setelah masa kontrak habis. Sesuai kesepakatan dengan pemerintah kota, masa kontrak proyek dimulai sejak pertengahan 2009 dan berakhir pada 31 Desember 2009.

"Namun ditemukan ada aktivitas pembangunan di lantai dua gedung pada awal 2010," katanya di Makassar, Senin (15/3).

Dari hasil temuan itu, Badan Pemeriksa mendesak Pemerintah Kota memberi sanksi kepada PT Istaka berupa penambahan waktu pengerjaan selama 30 hari. Waktu pengerjaan dibiayai Rp 8 juta per hari, dengan total biaya Rp 240 juta.

Tajuddin mengatakan, sanksi itu sesuai Keputusan Presiden Nomor 80 tentang pengadaan barang dan jasa yang menyebutkan sanksi dihitung dengan biaya satu per seribu per hari.

Tajuddin menuturkan, pihaknya telah mengirim surat balasan kepada Badan Pemeriksa sejak akhir Februari 2010. Isi surat mengenai permintaan Pemerintah Kota agar Badan Pemeriksa melakukan pengkajian secara mendalam terhadap dugaan pelanggaran itu.

"Saya belum tahu kapan surat balasan dari BPK kembali dikirim pada kami. Tapi kalau memang BPK tetap mengusulkan ada sanksi, pasti akan diakomidir," katanya.

Ia menambahkan, desakan Badan Pemeriksa belum diberitahukan kepada PT Istaka. "Nanti ada penetapan kebijakan, baru mereka disurati," katanya.

Gedung Tower Balai Kota Makassar adalah proyek yang mulai dibangun sejak zaman Wali Kota Amiruddin Maula sekitar 2003. Pada periode Wali Kota Ilham Arief Sirajuddin 2004 silam, proyek mulai dibangun, namun sempat mandek.

Saat itu Badan Pemeriksa juga menemukan adanya dugaan pelanggaran oleh kontraktor karena proyek tidak selesai sesuai masa kontrak, sehingga kontrak kerja sama pembangunan proyek diputus.

Pertengahan 2009, tender pembangunan finishing proyek berupa pemasangan lift, mesin penyejuk, dan listrik dimenangkan oleh PT Istaka. Dana yang digelontorkan Pemerintah Kota sebesar Rp 9 miliar.

TRI SUHARMAN

terbit pula di : http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/03/15/brk,20100315-232668,id.html
sumber foto : http://foto.detik.com/
Masyarakat Transportasi Indonesia Sulawesi Selatan memperkirakan terjadinya kerugian warga akibat unjuk rasa mencapai Rp 200 juta perhari. Kerugian itu dipicu oleh kemacetan yang terjadi pada dua jalan utama yang menghubungkan pusat Kota Makassar dengan daerah sekitarnya yakni Jembatan Layang Jalan AP Pettarani dan Jalan Sultan Alauddin.

Hasil analisis Sekreatir Masyarakat Transportasi Indonesia Sulawesi Selatan Lambang Basri Said menyebutkan, kerugian itu dihitung dari efek domino yang terjadi akibat unjuk rasa yang berujung rusuh itu. Misalnya, waktu tempuh tujuan yang molor hingga mengakibatkan pemborosan bahan bakar minyak, kelancaran usaha warga terancam, dan nilai stres yang harus dipulihkan pascakemacetan.

Ia menjelaskan, kemacetan akibat unjuk rasa itu bisa berdampak mulurnya jarak tempuh hingga 3 jam sebelum dan setelah terjadinya aksi. Akibatnya, mesin kendaraan yang terus menerus beroperasi mengalami pemborosan bahan bakar dua kali lipat dari kebutuhan saat arus lalulintas normal.

Hal itu dialami oleh 600 ribu warga yang menggunakan jalur transportasi selama 10 jam perhari di Makassar. "Mereka menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil dan motor dan kendaran umum seperti Petepete," kata Lambang melalui sambungan telepon, kemarin.

Begitupula dengan kelancaran usaha warga. Lambang menuturkan dari 600 ribu warga pengguna jalan, terdapat sekitar 70 ribu orang yang masuk dalam kategori tenaga kerja aktif. Terjadinya unjuk rasa membuat produktivitasnya berkurang, kontrak kerja bisa tertunda hingga mengalami kerugian besar.

Sedangkan stres yang dialami warga akibat kemacetan dan anarki unjuk rasa membuatnya harus merongok kocek cukup dalam untuk pemulihan otak. Berbagai pertunjukan maupun wisata menjadi sasaran, sehingga terjadi penambahan biaya hidup perharinya.

Sementara itu, Pemerintah Kota Makassar harus merongok kocek hingga ratusan juta rupiah untuk mengembalikan fungsi fasilitas umum yang dirusak oleh mahasiswa, saat menggelar unjuk rasa sejak Rabu lalu.

Dalam aksi yang berujung rusuh itu, terjadi kerusakan puluhan rambu lalulintas, papan petunjuk jalan, cermin pemandu jalan, dan boks kontrol serta boks lampu merah diberbagai jalan utama. Kerusakan fasilitas ditemukan di Jalan utama yang berdekatan kampus dan sekretariat organisasi kemahasiswaan, diantaranya Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Urip Sumohardjo, Jalan AP Pettarani, dan Jalan Botolempangan.

Kepala Bidang Lalulintas Dinas Perhubungan Makassar, Taufik Palaguna mengatakan, untuk mengganti satu boks lampu merah, pemerintah harus mengeluarkan dana sebesar Rp 4 juta rupiah.

Data yang dihimpun menyebutkan jumlah lampu merah yang rusak sebanyak 8 unit. Satu unit lampu merah memiki tiga boks lampu yakni merah, kuning dan hijau. Jika semua rusak, artinya terdapat 24 boks yang harus diganti. Dengan demikian pemerintah harus menyiapkan dana mencapai Rp 96 juta.

Taufik melanjutkan, untuk mengganti rambu lalulintas dan papan petunjuk jalan pemerintah membutuhkan dana hingga Rp 600 ribu perunit. Namun demikian ia belum mengetahui jumlah rambu dan papan petunjuk yang mengalami kerusakan karena masih menunggu laporan tim dinas yang melakukan pendataan sejak Kamis lalu.

Ia juga mengaku tidak tahu harga untuk mengganti cermin pemandu jalan dan boks kontrol lampu merah yang rusak. Tapi diperkirkan mencapai puluhan juta rupiah. Dengan demikian jumlah kerusakan fasilitas mencapai ratusan juta. "Sepertinya itu mahal harganya," katanya.

Taufik berharap seluruh fasitas umum itu bisa kembali normal pekan depan. Sebab perbaikin sangat mempengaruhi arus lalulintas di Makassar. "Kalau dibiarkan petugas bisa sulit menertibkan lalulintas," terangnya.

Lambang menimpali kerugian warga akibat kemacetan karena unjuk rasa sebenarnya bisa dikurangi. Pemerintah Kota Makassar bekerjasama dengan Kepolisian harus bisa mengetahui lebih awal aksi yang bakal terjadi, kemudian pengumuman melalui media massa beberapa jam sebelumnya. "Pengumuman, dilanjutkan dengan pengalihan arus kendaraan atau rekayasa lalulintas."

TRI SUHARMAN
Berita ini terbit di Koran Tempo edisi 6 Maret 2010. Belum melalui editing
Sumber foto : http://fahmiphotogalery.blogspot.com/
Desakan Pemerintah Kota Makassar agar pengelola Pulau Kayangan, PT Putra-Putra Nusantara membayar tunggakannya sebesar Rp 920 juta tampaknya bakal berakhir sia-sia. Pemodal yang dikenai pembayaran royalti wisata Kayangan sejak lima tahun silam itu berkukuh enggan membayar tunggakan.

"Kami tidak akan membayar royalty sebelum perjanjian kerjasama dengan pemerintah direvisi," kata Juru Bicara PT Putra-Putra Nusantara Andi Januar Jaury Darwis di Makassar, (2/3).

Perusahaan menbutuhkan revisi, kata Januar, karena royalty yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Surat Perjanjian Kerjasama tentang Kontrak Pengguna usahaan Pulau bernomor 556.1/023/S.PERTA/DIPARDA dihitung dengan asumsi bahwa pulau akan dijadikan sarana hiburan seperti lokalisasi dan ketangkasan. Sehingga, jumlah royaltynya cukup besar.

Perhitungan royalty itu adalah hasil perjanjian kerjasama antara Pemerintah dengan Investor dari Negara Singapura yang sebelumnya mengelola Pulau Kayangan. Namun investor itu memilih hengkang, sehingga diambil alih oleh PT Putra Putra Nusantara.

Januar yang juga Ketua Partai Demokrat Makassar itu menuturkan, perusahaannya berniat mengelola Pulau dengan visi menyelamatkan Kayangan dari ajang prostitusi dan ketangkasan. "Kami masuk (sebagai pengelola) karena prihatin dengan kebijakan pemerintah," katanya.

Keinginan itu dilandasi syarat bahwa pemerintah merevisi Perjanjian Kerjasama dengan menghapus fungsi pulau sebagai lokalisasi, kemudian menggantinya sebagai pusat wisata bertaraf nasional. Pemerintah juga diminta agar menghitung kembali royalty yang harus disetor perusahaannya.

Karena mendapat sinyal positif, kata Januar, Tahun 2005 pihaknya menggelontorkan dana sebesar Rp 5 miliar untuk menata keamanan Pulau dari ancaman abrasi seperti membuat tanggul termasuk membangun sekitar 35 unit penginapan.

Namun, kata Januar, permintaan perusahaannya untuk merevisi aturan dipandang sebelah mata. Upaya perusahaan untuk melobi melalui pertemuan secara berkesinambungan dengan pemerintah kota sejak 2007 tidak menuai hasil sampai sekarang. "Kok tidak profesional, ini ada apa. Terang kami merasa tertipu dengan kebijakan pemerintah," katanya bernada kesal.

Disisi lain, Januar melanjutkan, kewajiban pengusaha membayar royalty terus bertambah. Dalam surat perjanjian, royalty yang harus dibayar mengalami kenaikan setiap tahunnya. Misalnya Tahun 2005 sebesar Rp 148 juta, 2006 naik menjadi Rp 164 juta, 2007 sebesar Rp 182 juta, 2008 sebesar Rp 202 juta, dan 2009 sebesar Rp 224 juta.

Ia mengaku tidak mampu membayar royalty, sebab keuntungan yang diperoleh habis untuk membiayai pemeliharaan pulau dan penginapan, serta membayar puluhan karyawannya. "Modal yang kami gelontorkan saja belum kembali sampai sekarang," katanya.

Namun demikian, ia menilai Perusahaannya bisa saja membayar royalty apabila pemerintah mengeluarkan izin agar pulau dijadikan lokalisasi dan ketangkasan. Namun pemerintah enggan mengeluarkan izin tersebut.

"Padahal hak pemerintah kota sesuai perjanjian kerjasama adalah membantu pengelola dalam menyiapkan aturan pengelolaan Pulau," katanya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Makassar, Rusmayani Majid mengaku telah menggelar pertemuan khusus dengan pengelola Pulau Kayangan. Kesimpulan pertemuan itu adalah pemerintah kota menyerahkan penuh keputusan terhadap Badan Pemeriksa Keuangan.

Badan Pemeriksa, kata Rusmayani, akan mengaudit pengelolaan Pulau mulai pekan ini. Hasil auditnya akan menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan terhadap pengelola. "BPK akan merumuskan, apakah pengelola harus membayar royalty secara penuh, secara kredit, atau ada usulan lain," katanya.

Informasi yang diperoleh Rusmayani, Badan Pemeriksa akan mengeluarkan hasil auditnya pekan ini juga. "Kami ini selalu mencari jalan yang baik," katanya.

Januar mengaku telah diaudit oleh Badan Pemeriksa, seluruh berkas yang menyangkut pengelolaan pulau telah disetor kepada mereka. Tetapi ia menekankan, apabila Badan Pemeriksa mengisyaratkan agar pihaknya membayar royalty maka akan ditolak. "Kami tetap komitmen awal, harus ada revisi dulu," katanya.

TRI SUHARMAN

Berita ini terbit di Koran Tempo Makassar 3 Maret 2010. Belum melalui editing
Sumber foto : http://1.bp.blogspot.com/
Sebanyak 50 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Makassar akan dihadiahi tiga pasang pakaian yang menjadi seragam hariannya. Masing masing pakaian dianggarkan Rp 2 -3 juta.

Kepala Bagian Umum Sekretariat DPRD Makassar, Adwi Umar mengatakan aggaran yang disiapkan untuk membiayai pengadaan tiga pasang pakaian mencapai Rp 400 juta.Tiga pasang pakaian diantaranya Pakaian Sipil Harian berupa baju sapari berlengan pendek seharga Rp 2 juta, Pakaian Sipil Resmi berupa baju sapari berlengang panjang Rp 3 juta, dan Pakaian Sipil Lengkap berupa jas seharga Rp 3 juta.

Dengan demikian total biaya yang dibutuhkan untuk setiap anggota dewan yang mendapatkan tiga pasang pakaian sebesar Rp 8 juta."Dana yang disiapkan sudah disesuaikan dengan harga kain dan jahitannya, " kata Adwi di Gedung Dewan siang ini.

Adwi menuturkan, kain yang digunakan untuk membuat sapari berasal dari wol mewah, jas juga menggunakan kain yang mewah."Sapari dipakai untuk pakaian kantor setiap hari, sedangkan jas digunakan saat rapat," katanya.

Sekretaris DPRD Makassar, Nuraeni Ma'mur mengatakan, pengadaan pakaian dewan akan dimulai dengan tender pekan ini. Diharapkan, dewan sudah memiliki ketiga pasang pakaian awal April mendatang.
"Lelang akan dilakukan di koran," katanya.

Ia menambahkan pengadaan pakaian sesuai dengan tata tertib dewan. Pengadaan pakaian digelar setiap tahunnya.

TRI SUHARMAN
ket foto http://www.tribun-timur.com