Kepala Dinas Sosial Kota Makassar Ibrahim Saleh memperdiksi sekitar 876 orang pengemis bekas penderita penyakit kusta tiga tahun terakhir berkeliaran di Makassar. Pihaknya kesulitan melakukan penertiban, karena mereka tidak bisa diatur. "Terang saja kami sedikit kesulitan," kata Ibrahim di Balai Kota Makassar, Kamis (7/1).

Ia menjelaskan, dari 876 pengemis bekas penderita kusta itu, sekitar 360 orang diantaranya bermukim di Kelurahan Jongayan Kecamatan Tamalate, 50 orang bermukim di Jalan Perintis Kemerdekaan, dan sisanya 466 orang berkeliaran di seluruh ruas jalan utama Makassar. Pengemis tersebut sebagian besar berasal dari daerah yang mengadu nasib di Makassar, mereka tidak pulang ke kampung halamanya karena sumber penghasilan hanya ditemukan di Makassar.

Awalnya, kata Ibrahim, mereka adalah penderita kusta yang telah diobati secara cuma-cuma oleh pemerintah. Harapan pemerintah, setelah mereka sembuh bisa kembali bekerja di kampung seperti sedia kala. " Setelah sembuh, eh mereka tidak mau pulang," katanya.

Sejak tiga tahun terakhir pemerintah terus mencari solusi penanganan pengemis, misalnya menyediakan angkutan untuk membawa mereka pulang ke daerah masing-masing, tapi ternyata mereka kembali lagi ke Makassar. Ada juga pengemis yang bersikeras tidak mau pulang ke daerahnya. "Ini persoalan sosial, jadi kita butuh pendekatan yang baik," katanya. Asal daerah para pengemis itu tersebar di 24 Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan.

Untuk 2010 ini, ia belum bisa memberi penjelasan mengenai bentuk penanganan pengemis. Ia berkelit sedang melakukan kajian. "Nanti saya rumuskan lebih detail lagi," katanya.

Anggota Komisi Kesejahtaraan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah Makassar, Ikbal Djalil menilai tentu ada sebab sehingga pengemis tidak ingin pulang kampung, misalnya mereka tidak punya penghasilan di daerahnya dan selalu dikucilkan. Disinilah peran pemerintah, kata dia, menelorkan solusi jitu untuk kehidupan bekas penderita kusta ini.

Ia menawarkan agar pemerintah memberikan keterampilan dan modal terhadap mereka, supaya keinginan untuk mengemis tidak ada lagi. Pemerintah juga perlu memperkuat koneksi hingga ke daerah asal para pengemis, supaya ada tanggungjawab pemerintah daerah untuk mengawasi mereka. "Administrasi kependudukan juga diperketat, supaya laju urbanisasi bisa dikontrol dengan baik," katanya.

Maraknya pengemis di Makassar sudah menjadi fenomena yang selalu disoroti berbagai pihak setiap tahunnya, pemerintah telah mebuat regulasi yang cukup banyak untuk menangani mereka. Diantaranya pembuatan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 tentang penanggulangan pengemis dan anak jalanan. Namun aturan yang memberi sanksi kurungan penjara bagi pengemis yang berkeliaran di kota itu tersebut sulit diterapkan dengan baik. "Memang masih cukup kurang realisasinya," kata Ibrahim.

Saat ini pengemis bekas penderita kusta di Makassar berkeliaran hampir diseluruh ruas jalan dan pusat keramaian. Mereka mudah ditemui di Jalan Sultan Hasanuddin, Jalan Balai Kota, Jalan Ahmad Yani. Selan itu mereka sering memasuki tempat wisata seperti Pantai Losari, kemudian warung makan dan kafe.

TRI SUHARMAN

Terbit di Koran Tempo Makassar
8 Januari 2010
Tulisan belum melalui editor
Foto : http://denisuryana.files.wordpress.com
Badan Pemberdayaan Masyarakat Makassar melangsir sebanyak 7.968 Kepala Keluarga yang tidak kebagian beras miskin tahun ini. Jatah mereka dihapus karena persediaan beras miskin menyusut hingga 2.914.608 kilogram.

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Makassar, Syahrir Sappeile mengatakan data warga yang terhapus paling tinggi pada tiga kecamatan se Makassar yakni Kecamatan Tamalate 803 kepala keluarga , Tallo 1599 kepala keluarga, dan Rappocini 662 kepala keluarga. Pada 2009 lalu, warga Tamalate yang memperoleh beras miskin sebanyak 10.118 kepala keluarga, Tallo sebanyak 9.757 kepala keluarga, dan Rappocini sebanyak 7.071 kepala keluarga. "Ini kebijakan langsung pemerintah pusat," kata Syahrir di Makassar, Rabu (6/1).

Syahrir menjelaskan warga Makassar yang menerima jatah beras miskin 2009 lalu sebanyak 70.160 kepala keluarga dengan jumlah beras 12.616.560 kilogram, tahun ini menyusut menjadi 62.192 kepala keluarga dengan jumlah beras 9.701.952 kilogram.

Waktu pembagian beras miskin juga dikurangi, pada 2009 lalu warga dijatahi beras selama 12 bulan. Setiap kepala keluarga mendapatkan jatah beras 15 kilogram, harga beras perkilogram sebesar Rp 1.600. Sementara tahun ini, warga hanya mendapat jatah beras selama 11 bulan, pada Mei 2010 mereka tidak dijatahi beras. Alasannya Mei merupakan waktu panen raya petani di Sulawesi Selatan, diperkirakan harga beras juga turun.

Namun demikian warga hanya dijatahi 15 kilogram beras miskin selama 9 bulan, pada Desember mendatang jatah beras juga dipotong hingga 9 kilogram. Warga hanya mendapatkan jatah 6 kilogram. "Kalau dirata-ratakan 15 kilogram, persediaan beras tidak bakal cukup," terangnya.

Syahrir berharap, warga bisa menerima pengurangan jumlah penerima beras miskin. Ia menilai kebijakan ini muncul karena jumlah warga miskin di Makassar mengalami penurunan yang cukup tajam. Olehnya itu pihaknya akan menggelar sosialisasi kepada 300 tim penyalur raskin. Tim yang tersebar 143 kelurahan dan 14 kecamatan se-Makassar ini diharapkan menyampaikan langsung kondisi beras miskin ke warganya.

Ketua Komisi Kesejahteraan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Makassar, Naran Mone meminta pemerintah memperkuat sosialisasi mengenai pengurangan jatah beras miskin kepada warga. Menurut dia, tanpa sosialisasi kebijakan ini bisa memicu reaksi warga miskin. "Harus betul-betul dikawal," katanya.

Politisi Golkar ini juga berharap warga bisa memaklumi kondisi ini, pemerintah mengurangi jatah beras miskin bukan tanpa alasan, tapi karena kondisi keunagan negara memang kurang stabil. "Kami yakin pemerintah bisa memberi jalan terbaik," katanya.

Ketua Serikat Rakyat Miskin Indonesia Makassar, Wahidah menilai fenomena mengurangnya jatah beras miskin tidak lepas dari kinerja pemerintah yang buruk. Data warga miskin yang disetor kepada pemerintah pusat tidak sesuai dengan jumlah warga miskin di Makassar.
"Kami sedang mengumpulkan data warga miskin yang tidak tercatat oleh pemerintah, nanti dilapor ke dewan," katanya.

Ia juga menuding pengurangan jatah raskin adalah sikap politik pemerintah pusat yang menutupi kekurangannya dalam mengentaskan kemiskinan. Padahal, kata dia, warga miskin malah bertambah dengan adanya kenaikan makanan pokok serta tingginya jumlah Pemutusan Hubungan Kerja pertahunnya. Namun ia tidak bisa menunjukkan data yang jelas terkait kenaikan jumlah warga miskin. "Kita bisa prediksi jumlahnya dengan melihat kondisi ekonomi sekarang," katanya.

Ia membenarkan pernyataan Nasran bahwa mengurangnya data miskin bisa memicu reaksi warga, sehingga ia mengusulkan agar pemerintah tetap memberikan beras miskin kepada warga yang tidak terjatah tahun ini dengan menggunakan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah 2010. Kalaupun sulit dilakukan, kata dia, pemerintah sebaiknya mengurangi jatah beras miskin setiap kepala keluarga, misalnya dari 15 kilogram perbulan menjadi 10 kilogram. "Supaya semuanya kebagian," katanya.

TRI SUHARMAN
Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan melansir terjadi penurunan angka kemiskinan di Makassar pada 2009 sebanyak 6.381 jiwa. Data yang dikeluarkan Pemerintah Kota Makassar ini menyebutkan, hingga Desember 2009 jumlah warga miskin 62.096 jiwa, sedangkan pada 2008 sebanyak 68.477 jiwa.

Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin mengatakan, menurunnya angka kemiskinan tidak lepas dari komitmen pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik. Hal itu ditandai dengan kebijakan mengucurkan anggaran cukup besar untuk pengentasan kemisikan dari tahun ke tahun.

Untuk 2007, anggaran yang kucur senilai Rp 23 miliar, 2008 Rp 34 miliar, dan 2009 Rp 37 miliar. Anggaran tersebut tersebar di 15 instansi seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Sosial. "Untuk 2010 kami masih mengkajinya, tapi diupayakan lebih besar dari sebelumnya," terang Ilham, Jumat (1/1).

Ilham menjelaskan, program pengentasan kemiskinan terus digenjot di bidang pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur. Di bidang pendidikan terdapat pada program pendidikan gratis dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, pendidikan bersubsidi penuh dari Pemerintah Makassar, dan pengelolaan Biaya Operasi Sekolah.

Khusus untuk pendidikan bersubsidi penuh, pemerintah kembali akan memberikan dana sekitar Rp 2,6 miliar untuk siswa miskin pada 2010. Mereka berada di 128 sekolah dasar, tujuh sekolah menengah atas, dan tiga sekolah menengah atas.

Sementara pembangunan infrastruktur terdapat pada pembangunan empat twin blok rumah susun sederhana sewa di Kecamatan Mariso. Ilham menilai, pengadaan rumah susun memicu peningkatan ekonomi warga karena mereka sudah tidak tinggal di lingkungan kumuh lagi.

Kepala Dinas Sosial Makassar Ibrahim Saleh mengatakan, warga yang masuk kategori miskin terdiri dari tiga jenis penilaian yakni miskin sekali, miskin, dan hampir miskin. Jenis miskin sekali seperti warga yang tinggal di rumah kumuh dan tidak punya penghasilan tetap, sedangkan miskin adalah warga yang tinggal di rumah sederhana dengan penghasilan tetap tapi tak cukup.

Sementara hampir miskin adalah warga yang punya penghasilan tetap tapi tidak menunjang masa depannya. "Ketiga jenis ini masuk dalam penilaian BPS," katanya.

Ia menilai data BPS yang menyebutkan jumlah warga miskin Makassar telah menurun sudah sangat wajar, karena pemerintah telah berupaya optimal untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.

Khusus Dinas Sosial, sebut dia, anggaran yang dikucurkan untuk pengentasan kemiskinan mencapai Rp 1,4 miliar. Dana itu untuk membiayai pembangunan rumah dan memberikan modal usaha. "Setiap kelompok yang terdiri 10 kepala keluarga kami beri modal usaha Rp 30 juta secara tunai," katanya.

Ketua Komisi Kesejahteraan Rakyat Makassar Nasran Mone mengatakan, angka kemiskinan memang terlihat menurun, tapi sebenarnya jumlah riil warga miskin di beberapa kantong kemiskinan masih cukup banyak.

Oleh karena itu pemerintah didesak membuat target khusus untuk menekan jumlah warga miskin setiap tahun. "Kalau perlu targetnya sampai 50 persen per tahun," kata Nasran.

Pernyataan Nasran sejalan dengan temuan BPS Sulawesi Selatan yang menyebutkan jumlah warga miskin masih berpusat di tiga Kecamatan yakni Kecamatan Tallo, Rappocini, dan Tamalate.

Penurunan jumlah warga miskin di tiga wilayah ini masih cukup kecil, misalkan di Rappocini jumlah warga miskin pada 2008 sebanyak 7.012 jiwa, sedangkan 2009 turun menjadi 6,409 jiwa.

Politisi Golkar ini melanjutkan, untuk menekan jumlah warga miskin, pengucuran dana pemerintah harus dioptimalkan, misalnya dana untuk pembangunan rumah kumuh dan modal usaha warga miskin.

Ia juga mendesak agar pemerintah memperketat administrasi kependudukan karena peningkatan jumlah warga miskin juga akibat urbanisasi secara besar-besaran. "Meskipun sekarang warga bisa memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) gratis, tapi harus ada kriterianya misalnya warga harus tinggal minimal lima tahun," tandasnya.


TRI SUHARMAN

Bisa dibaca di http://tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/01/01/brk,20100101-216770,id.html Foto : http://qitori.files.wordpress.com/



Ketua Komisi Ekonomi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Makassar Sri Rahmi mendesak Pemerintah Kota Makassar memperjelas status penarikan royalti atau bagi keuntungan dengan pihak swasta dalam mengelola wisata Pulau Kayangan.

Sesuai hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan 2009, pengelola Pulau Kayangan tidak menyetor royalti ke pemerintah kurang lebih empat tahun terakhir. "Harus dijelaskan apa penyebabnya," kata Sri Rahmi di Makassar, Sabtu (2/1).

Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini mengaku belum memperoleh informasi yang jelas mengenai tersendatnya pemberian royalti tersebut. Padahal pihaknya telah mendesak pemerintah untuk memperlihatkan bentuk kerja sama dengan swasta sejak awal Desember 2009.

Hanya saja belum bisa ditindaklanjuti, karena Dewan maupun pemerintah sedang fokus membahas Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Makassar 2010. "Tapi kami akan agendakan pertemuan dengan pengelola pulau awal Januari ini," janjinya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Makassar, Rusmayani Madjid, membenarkan pihak pengelola pulau sudah sekitar empat tahun tidak menyetor royalti. Royalti yang harus disetor per tahun mencapai Rp 200 juta, sehingga pengelola pulau berutang senilai Rp 800 juta selama empat tahun. "Mereka harus membayar tunggakannya," tegas Rusmayani.

Namun demikian, Rusmayani tidak akan menagih tunggakan begitu saja. Mereka akan dimintai alasan soal keterlambatan pembayaran royalti.

Terkait hal tersebut, Rusmayani berjanji akan mengagendakan pertemuan internal dengan pengelola pulau pekan depan. "Kami tidak ingin memberatkan pengelola, makanya akan diatur pola pembayaran tunggakan itu," ucapnya.

Sejauh ini, mantan Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Makassar ini juga belum mengetahui penyebab menunggaknya pembayaran royalti. "Saya masih pelajari," katanya.

Asisten Ekonomi dan Pembangunan Makassar, Burhanuddin, mengaku sudah seringkali memanggil pengelola pulau untuk menjelaskan alasannya tidak membayar royalti.

Burhanuddin menilai ada ketidakcocokan yang cukup mendasar dalam nota kesepahaman pengelolaan pulau, namun ia enggan menyebutkan hal tersebut. "Yang jelas ada yang mereka minta sulit kami penuhi, karena bukan kewenangan kami," kata Burhanuddin yang enggan menyebut permintaan pengelola.

Langkah yang akan ditempuh pemerintah, kata dia, akan melakukan revisi nota kesepahaman sehingga tidak ada alasan bagi pengelola untuk berhenti memberi royalti ke pemerintah. "Sedang kami kaji," katanya.

Kayangan adalah gugusan pulau yang berada di perairan Kota Makassar. Empat tahun terakhir, pulau tersebut dijadikan area wisata oleh perusahaan swasta. Mereka mengelola pulau atas dasar nota kesepahaman untuk bagi hasil keuntungan dengan Pemerintah Kota Makassar.

TRI SUHARMAN

Bisa dibaca di http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/01/02/brk,20100102-216861,id.html
foto : http://veronica-ris.fotografer.net/foto.php?id=719409