TAPAK KILAS BENTENG JUMPANDANG

Mendung baru saja berlalu. Rinai yang sesaat menyapu Kota Makassar urun menjadi hujan. Langit pun membiru. Matahari yang tadinya tertutup awan kembali menampakkan sinarnya. Meski tergesa menjemput malam. Siluetnya memantul kesegala arah. Menciptakan warna elok menyilaukan mata. Tak terkecuali menerpa sebuah bangunan kuno yang berdiri kokoh di pesisir Makassar.
Bangunan itu menyerupai seekor penyu yang hendak turun ke laut. Orang-orang menyebutnya Benteng Fort Rotterdam. Konon kabarnya, bangunan yang terletak di Kelurahan Bulogading, Kecamatan Ujung Pandang, mengandung sebuah filosofi; bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.

Luas benteng yang mengarah ke lautan Makassar itu adalah 28,595,55 meter bujur sangkar. Ukurang panjang setiap sisi benteng berbeda. Pada dinding bagian barat berukuran 225 meter, sisi bagian utara 164 meter, dan sisi bagian timur 193,2 meter.

Benteng semula dibangun pada saat Daeng Matanre, Karaeng Manguntungi, Tumaparissi Kalonna, menduduki tahta Kerajaan Gowa IX sekitar 1510-1546. Kemudian dilanjutkan oleh Raja Gowa X, I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung yang dikenal juga bernama Karaeng Tunnipalanga.

Pada saat itu orang Makassar menyebut benteng dengan nama Jumpandang, sedangkan orang Bugis menyebutnya Jupp
andang. Benteng itu disebut Jumpandang karena letaknya di sebuah tanjung yang banyak ditumbuhi pohon pandan.

Andi Muhammad Said, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar mengatakan benteng dimanfaatkan untuk mengintai keberadaan musuh dari lautan Makassar. Kerajaan Gowa menganggap hal itu penting untuk menjaga rasa aman rakyat dan pedagang yang berlabuh di perairan Makassar. "Benteng Jumpandang menjadi sebuah markas pertahanan bagi Kerajaan Gowa," kata Said saat ditemui di kantornya, Selasa 2 November lalu.

Dari masa ke masa, benteng Jumpandang terus berbenah. Laporan Pengumpulan Data Peninggalan Sejarah dan Purbakala menyebutkan, benteng kembali ditata oleh I Manggerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin, Raja Gowa XIV sekitar 1643. Tembok benteng dibuat lebih kokoh dengan memasang bebatuan yang bersumber dari Pegunungan Karst di wilayah Maros. Susunan batu berbentuk persegi empat dengan ukuran berfariasi. Namun Said mengatakan tembok benteng berasal dari batu padas yang diambil dari perbatasan Gowa dan Takalar. "Kami masih menemukan sisa-sisa pengambilan batu disekitar wilayah itu," katanya.

Pada masa itu, kerajaan juga membangun parit mengelilingi benteng. Taslim Bostam, 69 Tahun, mengatakan kegunaan parit untuk mempersulit musuh yang hendak menyerang benteng tersebut. "Parit cukup luas. Bahkan kuda pun tidak mungkin bisa melompatinya," kata tokoh masyarakat sekaligus Ketua Rukun Tetangga di Kelurahan Bulogading tersebut.

Sejarawan Makassar Edward L Poelinggomang mengatakan Sultan Alauddin membangun kembali benteng Jumpandang untuk mempertahankan kekuasaan dari tekanan Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang biasa disingkat VOC. "Untuk itu, setiap sisi benteng dipasangi puluhan meriam yang siap digunakan
apabila keadaan genting," kata Edward dalam bukunya berjudul Makassar Abad XIX dalam studi kebijakan perdagangan maritim,

Sultan Alauddin sudah memperkirakan bahwa hubungannya dengan VOC akan mengalami goncangan yang cukup serius. Dan itu terbukti, pada masa pemerintahan I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Boto Mangape, Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI, terjadi pertempuran hebat antara Gowa dan VOC. Pertempuran yang disebut sebagai Perang Makassar itu memuncak pada Desember 1666 sampai November 1667.

Sejarawan Prof Dr Mattulada menyebutkan pasukan VOC yang dipimpin Cornelis Janszoon Speelman melakukan gencatan senjata dengan Kerajaan Gowa dipesisir Makassar selama berhari-hari. Speelman memuntahkan peluru meriam dari kapal perang yang berlabuh di perairan Makassar. Sultan Hasanuddin membalas dengan peluru meriam dari seluruh benteng yang ada di pesisir. "Salah satunya Benteng Jumpandang yang menggempur armada Speelman," kata Mattulada dalam buku berjudul Menyusun Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah

Mattulada menyebut kekuatan Speelman bertambah setelah mendapatkan sokongan bala tentara dari Kerajaan Bone sekitar 6000 orang yang dipimpin Arung Palakka. Speelman menggempur benteng dari arah laut, sedangkan Arung Palakka menyerang dari arah pegunungan.

Speelman akhirnya berhasil menundukkan Sultan Hasanuddin. Mattulada mencatat, 18 November 1667 tercapai sebuah kesepakatan damai antara kedua belah pihak. VOC kemudian memaksa pria yang juga disebut Tumenanga ri Balla Pangkana itu menandatangani Het Bongaais Verdrag yang lebih dikenal bernama Perjanjian Bungaya. Perjanjian damai itu sepakati di Binangan dekat Benteng Panakkukang. Namun Edward mencatat kesepakatan damai itu telah terjadi sejak 28 Juli 1669.

Perjanjian itu sangat menguntungkan VOC. Sebab isinya mengharuskan Makassar membayar biaya perang dan melepaskan seluruh tawanan pengawai VOC. Barang-barang VOC yang disita oleh Kerajaan Gowa juga harus dikembalikan, seluruh benteng pertahanan harus dibongkar, serta mengusir semua bangsa Eropa dari Makassar. VOC juga berhak melarang orang Makassar berlayar ke Maluku, bahkan hanya VOC yang boleh berdagang di Makassar. "Benteng Jumpandang serta perkampungan harus diserahkan kepada VOC," kata Edward mengutip isi perjanjian tersebut.

Speelman kemudian menduduki Benteng Jumpandang. Benteng dijadikan sebagai pusat pertahanan, pemerintahan, dan perekonomian. Pada saat itupula ia mengganti nama benteng menjadi Fort Rotterdam. Dalam Laporan Pengumpulan Data Peninggalan Sejarah, nama Rotterdam berasal dari kota kelahiran Speelman di Belanda.

Hingga kini, Fort Rotterdam melekat sebagai nama benteng tersebut. Bangunan buatan Speelman itu menjadi kekuatan yang mampu menarik wisatawan mancanegara. Para seniman pun mengenang kejayaan Kerajaan Gowa Tallo melalui pertunjukan seni dan budaya. Seiring dengan renovasi bangunan disekitar benteng yang terus menggeliat.


Rumah Panggung Berhias Meriam
I Manggerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin, Raja Gowa XIV tidak hanya menjadikan Benteng Jumpandang sebagai pusat pertahanan. Di bagian dalam benteng, dibangun sejumlah rumah panggung yang megah. Rumah khas Gowa itu menyerupai kediaman raja di Benteng Somba Opu.

Andi Muhammad Said, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar memperkirakan bahwa rumah panggung digunakan untuk memperkokoh perdagangan Kerjaan Gowa disaat Sultan Alauddin naik tahta. Sebab fungsinya sebagai pertemuan para raja-raja. "Acara-acara penting kerajaan banyak digelar dalam benteng," kata Said.

Prof Dr Mattulada dalam buku berjudul Menyusun Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah,S
ultan Alauddin melengkapi benteng dengan meriam yang didatangkan dari Turki dan Aceh. Pemasangan meriam ini sebagai reaksi keras terhadap ulah VOC yang mulai melakukan tekanan pada jalur perdagangan.

Meriam itu sekaligus menjaga kemanan disekitar benteng. Sebab Mattuladda mengatakan, terdapat aktifitas perdagangan dengan Portugis disekitar benteng. Perdagangan itu berupa beras, kayu hitam, dan damar.

Selain sebagai areal perdagangan, terdapat pula perkampungan yang dihuni bangsawan Makassar di sekitar benteng. Petani kerajaan juga membangun permukiman disekitar benteng. Sebab mereka dipekerjakan untuk menanami sawah kerjaaan bernama Kanrobosi yang saat ini dikenal dengan nama Lapangan Karebosi.

Said mengatakan kemegahan benteng dimasa Sultan Alauddin seakan menjadi dongeng belaka. Penyebabnya, bukti-bukti sejarah yang berada didalam benteng maupun disekitarnya tidak berbekas. Apalagi Cornelis Janszoon Speelman merobohkan seluruh bangunan kerajaan. Speelman kemudian menggantinya dengan bangunan-bangunan bercirik gothik yang masih berdiri hingga masa kini. "Sungguh sulit mencari bukti-bukti kejayaan benteng Jumpandang," kata Said.

Hal senada diungkapkan Kepala Museum La Galigo Nuryadin. Ia mengaku tak memiliki koleksi bekas peninggalan benteng Jumpandang. Di kantornya, hanya terdapat beberapa buah batu bata yang digunakan membangun benteng. Itupun belum jelas waktu pembuatan batu bata itu. Hingga kini belum ada penelitian yang memastikan batu bata dipakai pada masa kejayaan Sultan Alauddin atau setelah Speelman menduduki benteng. "Yang kami tahu bebatuan ini dugunakan pada abad 17," katanya saat ditemui di kantornya, Rabu 3 November lalu.

Namun dalam Lontarak Bilang Raja Gowa dan Tallok, Benteng Jumpandang mulai ditembok pada 9 Agustus 1634. Pada masa itu, Sultan Alauddin masih memangku jabatan raja. Sebab ia memerintah pada 1593-1639.

Baik Said maupun Nuryadin mengaku hanya bisa menelusuri bukti sejarah setelah Speelman menduduki benteng. Sebab sisa-sisa pembangunan Speelman masih ditemui hingga saat ini. Salah satunya sekumpulan bangunan kokoh dalam benteng.

Menurut Nuryadin, bangunan yang memanjang di bagian selatan benteng untuk penyimpanan rempah-rempah, bagian timur dijadikan kantor Speelman, dibagian utara kediaman Speelman dan para pedagang, serta dibagian barat kantor perdagangan. Sementara di bagian tengah adalah tempat ibadah umat kristiani. "Dibawah gereja dijadikan sebagai gudang senjata," kata Nuryadin. "Disetiap sudut benteng yang bernama bastion dijaga oleh tentara VOC yang mengawasi keamanan benteng," kata Sitti Fatimah, staf Museum.

Pemerintah Kota Makassar dalam buku Menguak Kebesaran Sejarah Makassar menyebutkan Speelman juga melakukan pembangunan besar-besaran disekitar benteng. Di bagian utara benteng, dibentuk satu perkampungan pedagang yang dinamakan Negorij Vlaardinegen. Ditempat ini para pedagang belanda menetap dan menjual barang danganannya.

Di Bagian utara ditempati para pedagang Melayu, sehingga disebut Kampung Melayu. Pada bagian timur dibangun istana untuk Arung Palaka, Raja bone yang dinamakan Bontoala. Dibangun pula lahan kebun untuk para pedangan Belanda yang disebut Kebun Kompeni disekitar istana Arung Palaka. Kompeni juga memiliki area perkebunan yang disebut Koningsplein (lapangan) yang kini bernama Lapangan Karebosi.

Untuk menjamin kemananan perkebunan, maka dibangun sebuah benteng di daerah Pattunuang sebelah timur Karebosi yang dikenal dengan nama Fort Vredenburg. Kini benteng itu berubah menjadi Bank Negara Indonesia 46 di Jalan Jendral Sudirman. "Kami tak menemukan bekas benteng itu lagi," kata Said sambil menunduk.

Taslim Bostam, 69 Tahun, tokoh masyarakat sekaligus Ketua Rukun Tetangga di Kelurahan Bulogading juga mengatakan hampir seluruh bangunan Belanda di sekeliling benteng sudah raib. Kini tergantikan oleh gedung-gedung baru yang dibangun setelah Indonesia merdeka. Seperti Kantor Pos Makassar, Gedung Legiun Veteran, dan Radio Republik Indonesia. Sejumlah bank swasta dan perusahaan telekomunikasi juga bermunculan disekitar benteng. "Terdapat pula sekitar 40 kepala keluarga pensiunan tentara yang bermukim di belakang benteng," katanya.

TRI SUHARMAN

Tulisan ini juga diterbitkan Koran Tempo Makassar edisi 9 November 2010 berjudul Jumpandang Pusat Ekonomi.
Sumber foto: tri suharman dan bentengkehidupan.wordpress.com.