Menyebut nama Tuhan dia merintih. Suaranya gemetar, semakin pelan, lalu hilang. Kemudian merintih lagi, sambil sesekali memanggil cucunya. "Baya...Bayaaaa...".

Di balik sarung coklat kusam, ia seperti seonggok tulang yang dilapisi daging tipis. Kulitnya lentur seolah meleleh di pembaringan.Mulut yang tak lagi dihiasi gigi, menganga seakan ingin memuntahkan hikayat yang selama 129 tahun membebaninya.

Sudah setahun terakhir, Hamasia tergolek lemas di kamar kecil yang berbau pesing itu. Kamar berlantai bambu diatas rumah panggung yang terletak di Lakkading, Kelurahan Mosso, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Sekitar 360 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan.

Cahaya yang merobek celah dinding seng kamar tak ia hiraukan, sebab kedua matanya menyerah terhadap keindahan. Hanya memandangi kegelapan sejak 15 tahun lalu.

Kedua kakinya ditekuk, kaku tak berdaya. Ia tak lagi bisa mengikuti cara salat seperti layaknya orang normal. Hanya berbaring, ia bercakap dengan Sang Maha Kuasa yang tak juga membawanya pulang.

Dia, ibu dari nenekku Hadijah, 80 tahun. Lahir di Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat sekitar 1882. Kampung yang berada diantara pegunungan dan sungai itu berjarak 260 kilometer dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sekitar enam jam, bila ditempuh dengan perjalanan darat dari Makassar.

Hamasia adalah seorang veteran yang telah mengecap pahitnya kehidupan prakemerdekaan. Bersama suaminya Sahuda, Pasukan Merah Putih di Lakkading, ia ikut mengangkat senjata melawan kebengisan penjajah.

Sahuda lebih dulu menyerah terhadap dunia. Ia telah meninggal karena sakit, sebelum cita-catanya membentangkan merah putih di sepanjang Lakkading terwujud. Namun, ia tak sendiri lagi, Hamasia menyusul suaminya, Selasa 3 Mei 2011, sekitar pukul 19.00 WITA.

Tubuh tak mampu menopang berontak jiwanya. Dia telah mati, meninggalkan empat generasi yang menyiksa. Generasi yang digambarkannya seperti dongeng pengantar tidurku waktu kecil. Sebab, bukti telah tergerus usia.

Saat berjumpa 16 April lalu, aku seperti beradu dengan sosok samar-samar yang tak mengenalku lagi, meski ia sempat menyebut namaku saat kujumpai esok harinya, sembari berpesan agar aku tetap sabar dalam perantauan.

Bau bedak menyeruak saat kucium keningnya, yang semakin berkerut saat menyentuh bibirku. Terhadap pesannya, aku diselimuti ketenangan. Pesan itu seperti cahaya yang memantik dari kegelapan. Menyinari malam-malam yang baginya hanyalah sebuah kepentingan.

Walau tak berdaya ditindas usia, dia seperti panorama yang teduh di atas kanvas seniman Italia. Berpadu dengan warna warni alam, mencipta siluet yang indah tapi sulit dimengerti. Sejak kecil dia meniupkan kasih sayang ke dalam paru-paruku. Memandikan aku, memijat tubuhku, dan menyuapi makanan disaat ku merengek kelaparan. Menggeser peran ibuku yang saat itu sedang sakit.

Tak seperti dia yang selalu mengingatku, Ingatanku
terhadap ceritanya sejak ku kecil tak sanggup kujabarkan. Hanya sepotong kisah yang sewaktu-waktu melunyembur dari otakku. Kisah yang tak lepas dari kepedihan yang dialaminya semasa penjajahan.

Kepedihan seorang gadis yang seharusnya berdiam di rumah bersama orang tua, mengenyam pendidikan yang layak, tapi harus mengangkat senjata demi bangsa. Bergumul dengan hujan tembakan, ledakan granat, dan pekikan meriam.


Dia adalah sisa bukti kerakusan penjajah. Dari kelopak matanya yang bosan dengan dunia, ia menyimpan kenang ribuan nyawa direnggut bedil, kolam air mata, dan hati yang tertusuk pedang. Namun bukti itu akan menyatu dengan tanah pemakaman Rabu 4 Mei. Hari dimana dia selayaknya menerima lembaran upah veteran dari Pemerintah. Hari terakhir yang tak bisa kusaksikan karena begitu jauh..maafkan aku...

"Hidup mati tak bisa ditebak. Orang dikatakan hidup ketika bertemu lagi,"
katanya dengan bahasa suku mandar fasih, suku yang mendiami Sulawesi Barat, saat menceritakan kisahnya padaku sekitar 2006.

Hamasia, buyutku tercinta, telah dijemput Tuhan, tapi dia pasti bahagia. Sebab, selama ini, ia terperangkap pada jaman yang tak dikenalinya. Jaman yang telah mengaburkan identitasnya, sebagai makhluk desa yang menyatu dengan alam, tak tergerus tetumbuhan gedung yang sombong menjulang. Gedung pencakar yang berisi orang-orang amnesia. Lupa dengan mereka yang berjuang demi kebebasannya.

foto/teks :
TRI SUHARMAN
Jakarta
Selasa 3 Mei 2011

Comments (0)