Menyebut nama Tuhan dia merintih. Suaranya gemetar, semakin pelan, lalu hilang. Kemudian merintih lagi, sambil sesekali memanggil cucunya. "Baya...Bayaaaa...".

Di balik sarung coklat kusam, ia seperti seonggok tulang yang dilapisi daging tipis. Kulitnya lentur seolah meleleh di pembaringan.Mulut yang tak lagi dihiasi gigi, menganga seakan ingin memuntahkan hikayat yang selama 129 tahun membebaninya.

Sudah setahun terakhir, Hamasia tergolek lemas di kamar kecil yang berbau pesing itu. Kamar berlantai bambu diatas rumah panggung yang terletak di Lakkading, Kelurahan Mosso, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Sekitar 360 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan.

Cahaya yang merobek celah dinding seng kamar tak ia hiraukan, sebab kedua matanya menyerah terhadap keindahan. Hanya memandangi kegelapan sejak 15 tahun lalu.

Kedua kakinya ditekuk, kaku tak berdaya. Ia tak lagi bisa mengikuti cara salat seperti layaknya orang normal. Hanya berbaring, ia bercakap dengan Sang Maha Kuasa yang tak juga membawanya pulang.

Dia, ibu dari nenekku Hadijah, 80 tahun. Lahir di Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat sekitar 1882. Kampung yang berada diantara pegunungan dan sungai itu berjarak 260 kilometer dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sekitar enam jam, bila ditempuh dengan perjalanan darat dari Makassar.

Hamasia adalah seorang veteran yang telah mengecap pahitnya kehidupan prakemerdekaan. Bersama suaminya Sahuda, Pasukan Merah Putih di Lakkading, ia ikut mengangkat senjata melawan kebengisan penjajah.

Sahuda lebih dulu menyerah terhadap dunia. Ia telah meninggal karena sakit, sebelum cita-catanya membentangkan merah putih di sepanjang Lakkading terwujud. Namun, ia tak sendiri lagi, Hamasia menyusul suaminya, Selasa 3 Mei 2011, sekitar pukul 19.00 WITA.

Tubuh tak mampu menopang berontak jiwanya. Dia telah mati, meninggalkan empat generasi yang menyiksa. Generasi yang digambarkannya seperti dongeng pengantar tidurku waktu kecil. Sebab, bukti telah tergerus usia.

Saat berjumpa 16 April lalu, aku seperti beradu dengan sosok samar-samar yang tak mengenalku lagi, meski ia sempat menyebut namaku saat kujumpai esok harinya, sembari berpesan agar aku tetap sabar dalam perantauan.

Bau bedak menyeruak saat kucium keningnya, yang semakin berkerut saat menyentuh bibirku. Terhadap pesannya, aku diselimuti ketenangan. Pesan itu seperti cahaya yang memantik dari kegelapan. Menyinari malam-malam yang baginya hanyalah sebuah kepentingan.

Walau tak berdaya ditindas usia, dia seperti panorama yang teduh di atas kanvas seniman Italia. Berpadu dengan warna warni alam, mencipta siluet yang indah tapi sulit dimengerti. Sejak kecil dia meniupkan kasih sayang ke dalam paru-paruku. Memandikan aku, memijat tubuhku, dan menyuapi makanan disaat ku merengek kelaparan. Menggeser peran ibuku yang saat itu sedang sakit.

Tak seperti dia yang selalu mengingatku, Ingatanku
terhadap ceritanya sejak ku kecil tak sanggup kujabarkan. Hanya sepotong kisah yang sewaktu-waktu melunyembur dari otakku. Kisah yang tak lepas dari kepedihan yang dialaminya semasa penjajahan.

Kepedihan seorang gadis yang seharusnya berdiam di rumah bersama orang tua, mengenyam pendidikan yang layak, tapi harus mengangkat senjata demi bangsa. Bergumul dengan hujan tembakan, ledakan granat, dan pekikan meriam.


Dia adalah sisa bukti kerakusan penjajah. Dari kelopak matanya yang bosan dengan dunia, ia menyimpan kenang ribuan nyawa direnggut bedil, kolam air mata, dan hati yang tertusuk pedang. Namun bukti itu akan menyatu dengan tanah pemakaman Rabu 4 Mei. Hari dimana dia selayaknya menerima lembaran upah veteran dari Pemerintah. Hari terakhir yang tak bisa kusaksikan karena begitu jauh..maafkan aku...

"Hidup mati tak bisa ditebak. Orang dikatakan hidup ketika bertemu lagi,"
katanya dengan bahasa suku mandar fasih, suku yang mendiami Sulawesi Barat, saat menceritakan kisahnya padaku sekitar 2006.

Hamasia, buyutku tercinta, telah dijemput Tuhan, tapi dia pasti bahagia. Sebab, selama ini, ia terperangkap pada jaman yang tak dikenalinya. Jaman yang telah mengaburkan identitasnya, sebagai makhluk desa yang menyatu dengan alam, tak tergerus tetumbuhan gedung yang sombong menjulang. Gedung pencakar yang berisi orang-orang amnesia. Lupa dengan mereka yang berjuang demi kebebasannya.

foto/teks :
TRI SUHARMAN
Jakarta
Selasa 3 Mei 2011

TAPAK KILAS BENTENG JUMPANDANG

Mendung baru saja berlalu. Rinai yang sesaat menyapu Kota Makassar urun menjadi hujan. Langit pun membiru. Matahari yang tadinya tertutup awan kembali menampakkan sinarnya. Meski tergesa menjemput malam. Siluetnya memantul kesegala arah. Menciptakan warna elok menyilaukan mata. Tak terkecuali menerpa sebuah bangunan kuno yang berdiri kokoh di pesisir Makassar.
Bangunan itu menyerupai seekor penyu yang hendak turun ke laut. Orang-orang menyebutnya Benteng Fort Rotterdam. Konon kabarnya, bangunan yang terletak di Kelurahan Bulogading, Kecamatan Ujung Pandang, mengandung sebuah filosofi; bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.

Luas benteng yang mengarah ke lautan Makassar itu adalah 28,595,55 meter bujur sangkar. Ukurang panjang setiap sisi benteng berbeda. Pada dinding bagian barat berukuran 225 meter, sisi bagian utara 164 meter, dan sisi bagian timur 193,2 meter.

Benteng semula dibangun pada saat Daeng Matanre, Karaeng Manguntungi, Tumaparissi Kalonna, menduduki tahta Kerajaan Gowa IX sekitar 1510-1546. Kemudian dilanjutkan oleh Raja Gowa X, I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung yang dikenal juga bernama Karaeng Tunnipalanga.

Pada saat itu orang Makassar menyebut benteng dengan nama Jumpandang, sedangkan orang Bugis menyebutnya Jupp
andang. Benteng itu disebut Jumpandang karena letaknya di sebuah tanjung yang banyak ditumbuhi pohon pandan.

Andi Muhammad Said, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar mengatakan benteng dimanfaatkan untuk mengintai keberadaan musuh dari lautan Makassar. Kerajaan Gowa menganggap hal itu penting untuk menjaga rasa aman rakyat dan pedagang yang berlabuh di perairan Makassar. "Benteng Jumpandang menjadi sebuah markas pertahanan bagi Kerajaan Gowa," kata Said saat ditemui di kantornya, Selasa 2 November lalu.

Dari masa ke masa, benteng Jumpandang terus berbenah. Laporan Pengumpulan Data Peninggalan Sejarah dan Purbakala menyebutkan, benteng kembali ditata oleh I Manggerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin, Raja Gowa XIV sekitar 1643. Tembok benteng dibuat lebih kokoh dengan memasang bebatuan yang bersumber dari Pegunungan Karst di wilayah Maros. Susunan batu berbentuk persegi empat dengan ukuran berfariasi. Namun Said mengatakan tembok benteng berasal dari batu padas yang diambil dari perbatasan Gowa dan Takalar. "Kami masih menemukan sisa-sisa pengambilan batu disekitar wilayah itu," katanya.

Pada masa itu, kerajaan juga membangun parit mengelilingi benteng. Taslim Bostam, 69 Tahun, mengatakan kegunaan parit untuk mempersulit musuh yang hendak menyerang benteng tersebut. "Parit cukup luas. Bahkan kuda pun tidak mungkin bisa melompatinya," kata tokoh masyarakat sekaligus Ketua Rukun Tetangga di Kelurahan Bulogading tersebut.

Sejarawan Makassar Edward L Poelinggomang mengatakan Sultan Alauddin membangun kembali benteng Jumpandang untuk mempertahankan kekuasaan dari tekanan Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang biasa disingkat VOC. "Untuk itu, setiap sisi benteng dipasangi puluhan meriam yang siap digunakan
apabila keadaan genting," kata Edward dalam bukunya berjudul Makassar Abad XIX dalam studi kebijakan perdagangan maritim,

Sultan Alauddin sudah memperkirakan bahwa hubungannya dengan VOC akan mengalami goncangan yang cukup serius. Dan itu terbukti, pada masa pemerintahan I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Boto Mangape, Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI, terjadi pertempuran hebat antara Gowa dan VOC. Pertempuran yang disebut sebagai Perang Makassar itu memuncak pada Desember 1666 sampai November 1667.

Sejarawan Prof Dr Mattulada menyebutkan pasukan VOC yang dipimpin Cornelis Janszoon Speelman melakukan gencatan senjata dengan Kerajaan Gowa dipesisir Makassar selama berhari-hari. Speelman memuntahkan peluru meriam dari kapal perang yang berlabuh di perairan Makassar. Sultan Hasanuddin membalas dengan peluru meriam dari seluruh benteng yang ada di pesisir. "Salah satunya Benteng Jumpandang yang menggempur armada Speelman," kata Mattulada dalam buku berjudul Menyusun Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah

Mattulada menyebut kekuatan Speelman bertambah setelah mendapatkan sokongan bala tentara dari Kerajaan Bone sekitar 6000 orang yang dipimpin Arung Palakka. Speelman menggempur benteng dari arah laut, sedangkan Arung Palakka menyerang dari arah pegunungan.

Speelman akhirnya berhasil menundukkan Sultan Hasanuddin. Mattulada mencatat, 18 November 1667 tercapai sebuah kesepakatan damai antara kedua belah pihak. VOC kemudian memaksa pria yang juga disebut Tumenanga ri Balla Pangkana itu menandatangani Het Bongaais Verdrag yang lebih dikenal bernama Perjanjian Bungaya. Perjanjian damai itu sepakati di Binangan dekat Benteng Panakkukang. Namun Edward mencatat kesepakatan damai itu telah terjadi sejak 28 Juli 1669.

Perjanjian itu sangat menguntungkan VOC. Sebab isinya mengharuskan Makassar membayar biaya perang dan melepaskan seluruh tawanan pengawai VOC. Barang-barang VOC yang disita oleh Kerajaan Gowa juga harus dikembalikan, seluruh benteng pertahanan harus dibongkar, serta mengusir semua bangsa Eropa dari Makassar. VOC juga berhak melarang orang Makassar berlayar ke Maluku, bahkan hanya VOC yang boleh berdagang di Makassar. "Benteng Jumpandang serta perkampungan harus diserahkan kepada VOC," kata Edward mengutip isi perjanjian tersebut.

Speelman kemudian menduduki Benteng Jumpandang. Benteng dijadikan sebagai pusat pertahanan, pemerintahan, dan perekonomian. Pada saat itupula ia mengganti nama benteng menjadi Fort Rotterdam. Dalam Laporan Pengumpulan Data Peninggalan Sejarah, nama Rotterdam berasal dari kota kelahiran Speelman di Belanda.

Hingga kini, Fort Rotterdam melekat sebagai nama benteng tersebut. Bangunan buatan Speelman itu menjadi kekuatan yang mampu menarik wisatawan mancanegara. Para seniman pun mengenang kejayaan Kerajaan Gowa Tallo melalui pertunjukan seni dan budaya. Seiring dengan renovasi bangunan disekitar benteng yang terus menggeliat.


Rumah Panggung Berhias Meriam
I Manggerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin, Raja Gowa XIV tidak hanya menjadikan Benteng Jumpandang sebagai pusat pertahanan. Di bagian dalam benteng, dibangun sejumlah rumah panggung yang megah. Rumah khas Gowa itu menyerupai kediaman raja di Benteng Somba Opu.

Andi Muhammad Said, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar memperkirakan bahwa rumah panggung digunakan untuk memperkokoh perdagangan Kerjaan Gowa disaat Sultan Alauddin naik tahta. Sebab fungsinya sebagai pertemuan para raja-raja. "Acara-acara penting kerajaan banyak digelar dalam benteng," kata Said.

Prof Dr Mattulada dalam buku berjudul Menyusun Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah,S
ultan Alauddin melengkapi benteng dengan meriam yang didatangkan dari Turki dan Aceh. Pemasangan meriam ini sebagai reaksi keras terhadap ulah VOC yang mulai melakukan tekanan pada jalur perdagangan.

Meriam itu sekaligus menjaga kemanan disekitar benteng. Sebab Mattuladda mengatakan, terdapat aktifitas perdagangan dengan Portugis disekitar benteng. Perdagangan itu berupa beras, kayu hitam, dan damar.

Selain sebagai areal perdagangan, terdapat pula perkampungan yang dihuni bangsawan Makassar di sekitar benteng. Petani kerajaan juga membangun permukiman disekitar benteng. Sebab mereka dipekerjakan untuk menanami sawah kerjaaan bernama Kanrobosi yang saat ini dikenal dengan nama Lapangan Karebosi.

Said mengatakan kemegahan benteng dimasa Sultan Alauddin seakan menjadi dongeng belaka. Penyebabnya, bukti-bukti sejarah yang berada didalam benteng maupun disekitarnya tidak berbekas. Apalagi Cornelis Janszoon Speelman merobohkan seluruh bangunan kerajaan. Speelman kemudian menggantinya dengan bangunan-bangunan bercirik gothik yang masih berdiri hingga masa kini. "Sungguh sulit mencari bukti-bukti kejayaan benteng Jumpandang," kata Said.

Hal senada diungkapkan Kepala Museum La Galigo Nuryadin. Ia mengaku tak memiliki koleksi bekas peninggalan benteng Jumpandang. Di kantornya, hanya terdapat beberapa buah batu bata yang digunakan membangun benteng. Itupun belum jelas waktu pembuatan batu bata itu. Hingga kini belum ada penelitian yang memastikan batu bata dipakai pada masa kejayaan Sultan Alauddin atau setelah Speelman menduduki benteng. "Yang kami tahu bebatuan ini dugunakan pada abad 17," katanya saat ditemui di kantornya, Rabu 3 November lalu.

Namun dalam Lontarak Bilang Raja Gowa dan Tallok, Benteng Jumpandang mulai ditembok pada 9 Agustus 1634. Pada masa itu, Sultan Alauddin masih memangku jabatan raja. Sebab ia memerintah pada 1593-1639.

Baik Said maupun Nuryadin mengaku hanya bisa menelusuri bukti sejarah setelah Speelman menduduki benteng. Sebab sisa-sisa pembangunan Speelman masih ditemui hingga saat ini. Salah satunya sekumpulan bangunan kokoh dalam benteng.

Menurut Nuryadin, bangunan yang memanjang di bagian selatan benteng untuk penyimpanan rempah-rempah, bagian timur dijadikan kantor Speelman, dibagian utara kediaman Speelman dan para pedagang, serta dibagian barat kantor perdagangan. Sementara di bagian tengah adalah tempat ibadah umat kristiani. "Dibawah gereja dijadikan sebagai gudang senjata," kata Nuryadin. "Disetiap sudut benteng yang bernama bastion dijaga oleh tentara VOC yang mengawasi keamanan benteng," kata Sitti Fatimah, staf Museum.

Pemerintah Kota Makassar dalam buku Menguak Kebesaran Sejarah Makassar menyebutkan Speelman juga melakukan pembangunan besar-besaran disekitar benteng. Di bagian utara benteng, dibentuk satu perkampungan pedagang yang dinamakan Negorij Vlaardinegen. Ditempat ini para pedagang belanda menetap dan menjual barang danganannya.

Di Bagian utara ditempati para pedagang Melayu, sehingga disebut Kampung Melayu. Pada bagian timur dibangun istana untuk Arung Palaka, Raja bone yang dinamakan Bontoala. Dibangun pula lahan kebun untuk para pedangan Belanda yang disebut Kebun Kompeni disekitar istana Arung Palaka. Kompeni juga memiliki area perkebunan yang disebut Koningsplein (lapangan) yang kini bernama Lapangan Karebosi.

Untuk menjamin kemananan perkebunan, maka dibangun sebuah benteng di daerah Pattunuang sebelah timur Karebosi yang dikenal dengan nama Fort Vredenburg. Kini benteng itu berubah menjadi Bank Negara Indonesia 46 di Jalan Jendral Sudirman. "Kami tak menemukan bekas benteng itu lagi," kata Said sambil menunduk.

Taslim Bostam, 69 Tahun, tokoh masyarakat sekaligus Ketua Rukun Tetangga di Kelurahan Bulogading juga mengatakan hampir seluruh bangunan Belanda di sekeliling benteng sudah raib. Kini tergantikan oleh gedung-gedung baru yang dibangun setelah Indonesia merdeka. Seperti Kantor Pos Makassar, Gedung Legiun Veteran, dan Radio Republik Indonesia. Sejumlah bank swasta dan perusahaan telekomunikasi juga bermunculan disekitar benteng. "Terdapat pula sekitar 40 kepala keluarga pensiunan tentara yang bermukim di belakang benteng," katanya.

TRI SUHARMAN

Tulisan ini juga diterbitkan Koran Tempo Makassar edisi 9 November 2010 berjudul Jumpandang Pusat Ekonomi.
Sumber foto: tri suharman dan bentengkehidupan.wordpress.com.
Bak mutiara yang mengapung di kala senja. Pulau Idaman menghadirkan keindahan panorama yang tak tergilas roda zaman. Membentuk perpaduan warna alam yang artistik nan eksotik.

Pulau indah itu terletak di Palipi, Desa Sendana, Kecamatan Sendana. Berjarak sekitar 38 kilometer dari Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Meski tak terurus dengan baik, pulau itu tetap digandrungi masyarakat. Termasuk saya yang selalu berkunjug kesana setiap saat.

Pulau yang memberbukit itu ditumbuhi pepohonan rindang. Tampak hijau berkilau saat mentari menguras cahanya. Awan yang mencium puncak pulau, seputih kapas menjemput pandangan. Seperti berarak menuju gelombang lautan.

Bagi masyarakat suku Mandar yang tinggal di sekitar pulau tak berpenghuni itu. Terdapat secuil cerita rakyat yang hingga kini masih dipertahankan. Cerita itu tak lepas dari epos La Galigo dengan tokoh Sawerigading. Titisan dewa yang menjadi penguasa bumi.

Al kisah

Suatu ketika Sawerigading berencana mencari sebuah wilayah yang kelak dijadikan tempat menyembah tuhan. Tempat suci yang diinginkan Sawerigading menyerupai Mekkah di tanah Arab. Cucu Bataraguru itu kemudian menunjuk tanah Mandar sebagai lokasi penyembahannya.

Sawerigading memutuskan untuk mengunjungi tempat itu. Agar bisa melihat langsung lokasi yang bakal menjadi pusat peradaban agama itu. Ia pergi dengan membawa ayam jagonya yang berukuran raksasa.

Setibanya disana, Sawerigading kecewa. Harapannya musnah ketika tak menemukan warga di sekitar kampung itu. Padahal ia berharap warga bisa menyambutnya dengan riang. Dengan dilikupi rasa gundah, Sawerigading mencari tahu keberadaan warga. Ternyata seluruh warga yang ada di kampung itu tengah tertidur pulas di rumahnya. Sawerigading pun semakin kesal. Ia bergegas meninggalkan tempat itu bersama ayam jagonya. Sebelum bergegas ternyata ayam jagonya mengeluarkan kotoran di pantai kampung itu.

Asli Yasin, 66 tahun, warga yang tinggal di kampung itu mengatakan kotoran ayam raksasa itulah yang berubah menjadi pulau. Warga sekitar menamainya Pulau Tai Manu, yang artinya Pulau Tahi Ayam. Sementara kampung disekitar pulau disebut Palipi, yang artinya tertidur pulas.

Asli yang mengaku adalah cucu dari Puanna Imau, warga yang sempat menjadikan pulau itu sebagai kebun menuturkan bahwa warga mengeramatkan pulau itu. Mereka menjadikan pulau sebagai media yang menyambungkan antara manusia dengan tuhannya. Secara turun temurun warga melakukan ritual untuk tolak bala dan meminta permohonannya di kabulkan.

Asli menceritakan sekitar 1958, pasukan Andi Selle yang biasa disebut 710 menjadikan pulau tersebut sebagai tempat istirahat. Karena keindahannya, mereka menyebut pulau sebagai idaman. Sampai sekarang pulau itu dinamai Pulau Idaman.

naskah dan foto
TRI SUHARMAN

KASUS CELEBES CONVENTION CENTER

"Sudahlah jangan diungkit lagi, saya kira sudah jelas semua."

Mantan Sekretaris Daerah Sulawesi Selatan Andi Tjonneng Malombassang menyebutkan bahwa mantan Gubernur Sulawesi Selatan Amin Syam bertanggung jawab atas dana sebesar Rp 3,45 miliar untuk pembebasan lahan gedung Celebes Convention Center. Menurut dia, anggaran lahan merupakan tanggung jawab gubernur.

"Proyek itu murni dari pemerintah provinsi," kata Tjonneng saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi pembebasan lahan gedung Celebes Convention Center di Pengadilan Negeri Makassar kemarin.

Kasus pembebasan lahan gedung Celebes menjerat Sidik Salam, Asisten Administrasi Sulawesi Selatan, yang menjadi terdakwa. Ia diduga melakukan korupsi karena membeli lahan negara seluas 6 hektare di Jalan Metro Tanjung Bunga. Pembelian untuk membangun gedung Celebes itu menggunakan dana dari pemerintah provinsi sebesar Rp 3,45 miliar. Lahan itu dibeli dari Hamid Rahim Sese alias Rahim Sese, yang mengaku sebagai penggarap lahan.

Tjonneng menjelaskan, pembangunan gedung Celebes pada 2005 adalah kebijakan langsung Amin sebagai gubernur. Amin, menurut Tjonneng, juga menunjuk lahan pembangunan gedung Celebes di pesisir Jalan Metro Tanjung Bunga melalui surat yang dilayangkan kepada Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Surat itu diteken oleh Tjonneng atas nama gubernur.

Isi surat itu, Tjonneng melanjutkan, meminta Wali Kota mengurus pembebasan lahan tersebut. Sehingga ia menilai pembebasan lahan adalah tanggung jawab Wali Kota. "Wali Kota yang membentuk tim pembebasan lahan," ujarnya.

Tjonneng juga menyebutkan bahwa Amin sebagai gubernur membentuk tim yang bernama Tim Koordinasi Sulawesi Selatan. Tim itulah yang mengawasi pembebasan lahan dan pembangunan gedung Celebes.

Adapun Amin Syam membantah tudingan bertanggung jawab dalam kasus tersebut. "Saya tidak tahu kalau Pak Tjoneng dipanggil sebagai saksi. Sudahlah, jangan diungkit lagi. Saya kira sudah jelas semua," kata dia saat dihubungi kemarin. Amin menegaskan, sebagai gubernur, dia tidak pernah mengurusi pengeluaran anggaran tentang dana proyek.

Sementara itu, Ilham belum bisa dimintai konfirmasi. Menurut ajudannya, Ilham masih berada di Beijing, Cina, mengikuti workshop penanggulangan bencana. Sedangkan juru bicara Wali Kota Makassar, Mukhtar Tahir, mengatakan tudingan Tjonneng sudah masuk hal-hal teknis. Menurut dia, Panitia 9 atau Tim Pembebasan Lahan-lah yang mengetahui hal tersebut.

TRI SUHARMAN | ARDIANSYAH RAZAK BAKRI | MUH SOPHIAN AS
Koran Tempo Makassar edisi 30 Juli 2010

Jaksa-jaksa tersebut sudah dijatuhi hukuman tingkat berat.

Meski telah melayangkan surat keberatan kepada Kejaksaan Agung, empat penyidik yang diduga melakukan pemerasan tetap dicopot jabatannya sebagai jaksa. Mereka adalah tiga jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat serta seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar. "Terhadap jaksa-jaksa tersebut sudah dijatuhi hukuman tingkat berat. Hukumannya sama kok sebelumnya," kata Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy melalui pesan singkat kemarin.

Namun Marwan enggan menyebutkan keempat jaksa tersebut. "Tidak bisa diumumkan sebelum (keputusan ini) diberitahukan kepada mereka," kata dia. Marwan juga belum bisa menentukan kapan surat keputusan Kejaksaan Agung tiba di tangan keempat jaksa tersebut. Menurut dia, surat keputusan terhadap mereka akan dikeluarkan Jaksa Agung Muda Pembinaan.

Kejaksaan Agung telah memeriksa sembilan jaksa yang melakukan tindakan tidak terpuji karena diduga melakukan pemerasan pada Februari lalu. Para jaksa itu bertugas di kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri.

Di kejaksaan tinggi di antaranya Aharuddin Karim, Andi Makmur, Nur Hidayah, Wahyudi, Haryani A. Gali, dan Nurni Parahyanti. Sedangkan di kejaksaan negeri adalah Andi Dachrin.

Marwan tak mau memberitahukan pertimbangan Kejaksaan Agung sehingga menolak sikap keberatan keempat jaksa tersebut. "Wah, sudah tidak boleh dong jadi bocor, karena bisa menyalahi aturan," katanya.

Ia juga mengaku belum mengetahui proses pemberian hukuman terhadap seorang jaksa yang diusulkan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat Adjat Sudradjat. Sebelumnya, Adjat juga mengusulkan agar satu penyidik dicopot jaksanya.

Juru bicara Kejaksaan Tinggi, Irsan Z. Djafar, saat disambangi di kantornya tidak berada di tempat. Seorang staf Kejaksaan menyebutkan, Irsan sejak Senin lalu berangkat ke Jakarta karena ada urusan dinas. Namun saat dihubungi melalui telepon selulernya tidak diangkat. Pesan singkat yang dikirim Tempo juga belum dibalas.

TRI SUHARMAN
Koran Tempo Makassar
edisi 28 Juli 2010


Kasus Bantuan Sosial

BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Sulawesi Selatan menegaskan, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat hingga kemarin belum pernah berkoordinasi berkaitan dengan penanganan kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial.

Kepala Subbagian Hukum dan Humas BPK Sulawesi Selatan Daniel Sembiring mengatakan lembaganya belum pernah menerima surat dari Kejaksaan untuk berkoordinasi mengusut kasus yang diduga merugikan negara sebesar Rp 8,867 miliar pada 2008 itu. Penjelasan tersebut diperoleh setelah Daniel menanyakan secara langsung kepada atasannya, Kepala BPK Sulawesi Selatan Abdul Latief. "Sampai detik ini belum ada," ujar Daniel, mengutip penjelasan Abdul Latief, kemarin.

Meski begitu, Daniel melanjutkan, BPK siap berkoordinasi dengan pihak terkait, termasuk dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang diberitakan masih memantau kasus ini.

Adapun pihak Kejaksaan tampaknya lebih memilih sikap bungkam. Kepala Seksi Ekonomi dan Keuangan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat Samsul Kasim meminta agar hal itu ditanyakan kepada juru bicara Kejaksaan Tinggi, Irsan Z. Djafar.

Tapi Irsan pun enggan berkomentar. Dia malah meminta agar hal itu ditanyakan kepada Samsul. "Kalau hal teknis, saya tidak tahu," katanya. Dia hanya menyatakan Kejaksaan serius menangani kasus itu dan belum mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan).

Padahal, dua hari lalu, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat Adjat Sudradjat mengaku segera menghentikan kasus bantuan sosial tersebut. Sebab, Kejaksaan tidak menemukan adanya perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan dalam kasus itu.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar Abdul Muttalib menyatakan sejak awal sudah menduga Kejaksaan tak serius menangani kasus ini. "Logikanya di mana, kalau ada institusi yang memiliki data valid, tidak pernah dikonfirmasi dan berkoordinasi."

Lembaga Antikorupsi Kecam Kejaksaan

"Seharusnya kasus ini sudah masuk penyidikan," ujarnya.

MAKASSAR -- Anti-Corruption Committee (ACC) Sulawesi Selatan, pegiat antikorupsi, mengkritik rencana kejaksaan menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial. Direktur Anti-Corruption Committee Abraham Samad menegaskan, kasus bantuan sosial 2008 sudah pasti mengarah pada korupsi.

"Bohong besar kalau tidak ada unsur pidana korupsi di sana," ujarnya saat dihubungi kemarin. "Mahasiswa semester VI fakultas hukum saja sudah bisa menyimpulkan kasus dana bantuan sosial berimplikasi korupsi."

Menurut Abraham, laporan Badan Pemeriksa Keuangan telah menyatakan anggaran bantuan sosial 2008 yang dikucurkan pemerintah provinsi kepada 926 penerima proposal dinyatakan tidak wajar.

Badan Pemeriksa Keuangan dalam laporan pemeriksaannya menyebutkan, dana bantuan sosial yang dikucurkan pada Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pada 2008 senilai Rp 35,48 miliar diduga terindikasi merugikan keuangan negara. Sebanyak Rp 8,867 miliar dinyatakan positif merugikan keuangan negara.

Namun Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat Adjat Sudrajat menyatakan Kejaksaan tidak menemukan adanya perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan dalam kasus tersebut. Meski mengakui adanya indikasi kerugian keuangan negara, Kejaksaan berkilah bahwa itu belum bisa menjadi dasar untuk menyimpulkan adanya unsur melawan hukum. Karena itu, Kejaksaan berencana menghentikan penyelidikan kasus tersebut.

Abraham menegaskan mendukung sikap Lembaga Bantuan Hukum Makassar yang berencana menggugat Kejaksaan Tinggi berkaitan dengan rencana penghentian penyelidikan kasus tersebut. Apalagi laporan BPK menyatakan tidak memberikan pendapat (disclaimer) terhadap laporan keuangan pemerintah provinsi. "Seharusnya kasus ini sudah masuk penyidikan," ujarnya.

Koordinator Komite Pemantau Legislatif Sulawesi Selatan, Syamsuddin Alimsyah, mengatakan kasus ini sudah seharusnya menjadi perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, menurut dia, Kejaksaan terkesan lepas tangan. "Padahal faktanya jelas," ujarnya.

Menanggapi hal ini, juru bicara Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat, Irsan Z. Djafar, menyatakan Kejaksaan serius menangani kasus itu. Sebab, kasus tersebut masih terus diselidiki. "Kasus ini sedang didalami. Jadi Kejaksaan belum mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan)," katanya.

| ICHSAN AMIN | TRI SUHARMAN
Koran Tempo Makassar Edisi 23 Juli 2010


Kejaksaan Agung akhirnya mengeluarkan hasil pemeriksaan terhadap kasus pemerasan jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat serta Kejaksaan Negeri Makassar. Hasilnya, empat jaksa diminta dicopot dari jabatannya.

"Tiga dicopot sebagai jaksa dan satu dicopot dari jabatannya," kata Adjat Sudradjat, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat, di kantornya kemarin.

Adjat menjelaskan, empat jaksa itu terbukti menerima uang hingga jutaan rupiah saat menangani sejumlah kasus. Sehingga Kejaksaan Agung memberi hukuman kedisiplinan. "Jadi bukan pemerasan, tapi menerima sejumlah uang," kata dia.

Meski demikian, Adjat mengatakan empat jaksa itu masih diberi kesempatan untuk mengajukan tanggapan atas keputusan tersebut. Tanggapan jaksa, kata Adjat, telah dikirim ke Kejaksaan Agung untuk kembali dikaji, sebelum hukumannya ditetapkan. "Apa tanggapannya itu diterima atau tidak, itu urusan nanti," kata dia.

Adjat juga enggan menyebutkan keempat nama jaksa tersebut. Ia hanya memberi bayangan bahwa jaksa itu berkantor di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat. "Nanti (namanya disebutkan) setelah keputusannya bersifat permanen. Karena bisa saja hukumannya menjadi ringan, bisa pula semakin berat," kata dia.

Ia menambahkan bahwa dirinya juga mengusulkan sejumlah jaksa untuk dicopot dari jabatannya. Salah satunya jaksa dari Kejaksaan Negeri Makassar yang diduga memeras dalam kasus narkotik dan obat terlarang. Namun lagi-lagi Adjat enggan menyebutkan nama dan jumlah jaksa tersebut. "Jangan dululah."

Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung memeriksa sedikitnya sembilan jaksa yang diduga memeras pada Februari lalu. Mereka di antaranya Palio Matandung, Andi Makmur, Aharuddin Karim, Nurhidayah, Wahyudi D. Trijonodi, Andi Muhammad Dachrin, Nurni Parahyanti, dan Rifiyanto.

Nurhidayah, Palio, Makmur, Aharuddin, dan Wahyudi diduga memeras Jusmin Dawi, bos PT Aditya Reski Abadi, tersangka yang menjadi buron kasus kredit fiktif Bank Tabungan Negara Syariah. Kasus pemerasan itu bermula ketika Jusmin membeberkan rekaman percakapan antara dirinya dan sejumlah jaksa ke media. Jusmin mengaku diperas hingga ratusan juta rupiah.

Sedangkan Dachrin dituduh menerima uang sebesar Rp 60 juta dari Ina, istri terpidana narkoba Teksuyanto. Uang itu diberikan dengan maksud agar hukuman suaminya dapat dikurangi menjadi enam bulan. Namun kenyataannya, Teksuyanto dituntut dua tahun penjara oleh jaksa dengan putusan 1 tahun 2 bulan. Karena kesal, Ina akhirnya membuka kisahnya kepada media.

Adapun Nurni dan Rifiyanto adalah jaksa penuntut umum dalam kasus merek sound system. Dalam kasus itu, kedua jaksa tiba-tiba mencabut upaya banding terhadap putusan pengadilan yang memvonis Rusdi, Andre, dan Wempi tanpa alasan jelas. Belakangan muncul isu suap terhadap kedua jaksa itu.

Palio Matandung saat dimintai konfirmasi mengaku belum menerima hasil pemeriksaan dari Kejaksaan Agung. Namun ia kembali membantah kabar bahwa dirinya pernah memeras Jusmin Dawi. "Saya berani berhadapan dengan dia," kata Palio.

Palio mengaku mengalami kesulitan setelah isu pemerasan itu dituduhkan kepadanya. Sebab, ia tidak bisa mengurus sejumlah berkas untuk perbaikan nasibnya di Kejaksaan. "Penyesuaian ijazah saya ditolak, padahal ini belum terbukti," kata dia.

Sementara itu, Nurhidayah saat dimintai konfirmasi juga mengaku belum menerima hasil pemeriksaan itu. "Saya tidak tahu, saya belum terima," kata dia sambil menutup pintu ruangannya.

TRI SUHARMAN
Koran Tempo Makassar
Edisi Jumat 25 Juli 2010