Pengalaman Mudik ke Kampung Halaman(1)

Mentari meredup, pertanda sang malam menjemput. Disisi barat Kota Makassar langit memerah, mengukir pamit untuk bulan yang suci.

Laporan : Trie Suharman

AKUPUN bergegas pulang, setelah bergemul tumpukan kewajiban di kantor sore itu, Jumat (18/9). Dalam hati, kekhawatiran tingginya arus mudik di Terminal Regional Daya (TRD) membuat waktu begitu berharga.
Untung ada sedikit ketenangan karena tiket bus jurusan ke kampung halaman sudah kupesan sejak sepekan lalu. Akupun melesat ke rumah bersama motor bututku.
Setiba di rumah, si butut ku simpan di garasi. Kemudian merapikan beberapa lembar pakaian kedalam tas. Tak lupa merapikan paket lebaran untuk keluarga yang kukemas kedalam kardus mi instant sejak beberapa hari lalu.
Kendati tiket bus menyebutkan waktu keberangkatan pukul 20.00, tapi aku harus berada di TRD sejak pukul 17.00. Maklum, rasa takut ketinggalan bus sangat tinggi.
Dengan menggunakan ojek, aku menembus kemacetan ke TRD. Dari kejauhan, samar para calo penumpang dan kuli barang begitu sibuk mengejar penumpang. Berdesakan menawarkan jasa demi kepulan asap di rumah.
Kepada tukang ojek, aku meminta agar berbelok kearah jalan berlawanan. Melanggar peraturan lalulintas di TRD, untuk mengelabui aksi mereka yang membawa kekhawatiran. Namun, tetap saja tak lolos.
"Mau kemana," tanya seorang calo sedikit ngos-ngosan. Aku tersenyum. Belum sempat kujawab, kardus berisi paket lebaran sudah dipikul seorang kuli.
Sambil membayar ongkos ojek aku menjawab "Maaf-maaf, nanti saya bawa sendiri. Saya juga sudah pesan tiket," kataku sedikit dongkol.
Kuli itu tak menghiraukan, begitupun calo yang terus saja mendesak dengan tumpukan tiketnya. Kuhelai nafas, menepis serangan emosi yang mulai menguat.
Kepada sang calo, aku menggelengkan kepala. Untunglah dia mengerti dan berlalu, namun si kuli tak juga melepas kardus yang sudah menindih pundaknya.
Kutatap sang kuli bertubuh dekil itu.Wajahnya yang keras, ototnya bagai kawat bercampur peluh dan kenekatannya demi sesuap nasi melahirkan rasa ibaku. Begitu sulitnya mengais rejeki di metropolitan ini.
Teringat pernyataan Kepala Perusahaan Daerah Terminal Abidin Wahid saat kuwawancarai tempo hari. Menurutnya, keberadaan calo dan kuli sudah menjadi kultur terminal di Makassar.
Meski penumpang mengeluhkan mereka, tapi sulit untuk diberanguskan. Jalan yang terbaik, kata Abidin, adalah memberdayakannya. "Laporkan ke pos pengaduan kalau mereka bertingkah, langsung ditindaki," tegas Abidin waktu itu.
Walaupun menurutku sudah dalam kategori bertingkah, aku tetap membiarkannya memikul barang kedalam TRD. Setibanya di ruang tunggu, aku langsung membayar seperti kesepakatan sebelumnya. "Terimakasih banyak," ungkap pria itu tersenyum kecil.
Uang yang kuberi langsung ia cium dan dimasukan ke saku celana yang berdebu. Kemudian ia melangkah gontai ke arah gerbang TRD. Dari kejauhan, wajahnya yang keras menyiratkan kebahagiaan.
Aku termenung Di bangku sebelah kanan ruang tunggu. Masih terbawa fikiran dengan aksi kuli tadi. Entah kenapa aku bangga dengan mereka. Siang dan malam bekerja memikul barang dan tanggungjawab untuk keluarga. Bertahan dalam kesulitan ekonomi dan kerasnya hidup.
Bising operator TRD mengumumkan jadwal keberangkatan, suara TV yang tak jelas dan rayuan pedagang kaki lima begitu gaduh di telinga.
Akupun menoleh ke kiri, hampir seluruh bangku terisi penumpang. Pandangan mereka mengarah ke utara, memperhatikan bus yang berjejer di jalur pemberangkatan.(*)
ket foto : http://kissmeguntur.files.wordpress.com/2009/09/mudik3a.jpg

Comments (0)