Pengalaman Mudik ke Kampung Halaman (2-habis)

Operator Terminal Regional Daya (TRD) mengumumkan jadwal keberangkatan. Suara TV yang tak jelas dan rayuan pedagang kaki lima begitu gaduh di telinga.

Laporan : Trie Suharman

"BUS tujuan Majene sudah berada di Jalur Pemberangkatan. Diminta para penumpang segera bersiap-siap," kata operator bersuara serak itu.
Akupun menoleh ke kiri, hampir seluruh bangku di ruang tunggu terisi penumpang. Pandangan mereka mengarah ke utara, memperhatikan bus yang berjejer di jalur pemberangkatan.
Kumelirik jam di ponsel yang menunjukkan 19.40, sebentar lagi aku melesat ke kampung halaman.
Aku terdiam sejenak. Kembali ku menoleh ke kiri, memandangi aktivitas penumpang yang beragam. Sepertinya ada yang berbeda.
Saat mudik lebaran tahun lalu, seluruh bangku terisi penumpang. Tak satupun yang kosong. Bahkan sebagian penumpang memilih berdiri karena tak kebagian kursi.
Tahun lalu, tumpukan barang terasa sesak di ruang tunggu. Namun tahun ini, seperti bisa dihitung jari.
Kemudian aku menoleh lagi ke belakang, para tim medis yang disiapkan untuk mengecek kondisi supir dan penumpang hanya duduk termenung dalam posko kesehatan. Sebagian asyik bercerita dan sebagian asyik menikati cemilan. Tahun lalu, betapa sibuknya mereka.
"Sekali lagi bus tujuan Majene sudah siap berangkat. Penumpang diharapkan menuju ke Jalur Pemberangkatan," kata operator mengingatkan.
Aku tersentak. Dengan tergesa-gesa kuraih kardus berisi paket lebaran untuk orang tua, kemudian berlari kecil ke jalur pemberangkatan.
"Cepat-cepat," seru kondektur bus kepadaku. Dengan nafas tersengal-sengal, akupun tiba di pintu bus itu. Kardus berisi paket lebaran langsung kuserahkan ke kondektur supaya disimpan di bagasi.
Sesuai nomor urut tiket bus, aku berada di kursi paling belakang. Kupandangi ke sekelilingku. Disamping kiri seorang pemuda tambun, disamping kanan seorang wanita setengah baya. Keduanya sibuk memainkan ponselnya.
Sementara di jejeran kursi penumpang yang berada di depanku, puluhan kepala menyembul melewati sandaran kursi. Sepertinya, tak satupun kursi yang kosong.
Namun lagi-lagi ada yang berbeda. Mudik beberapa tahun terakhir, puluhan orang rela berdiri di lorong tengah, diantara kursi bus. Padahal, harga tiket bus yang dibayar tidak berbeda dengan yang duduk asyik di kursi. Itulah sebabnya saya membeli tiket jauh hari sebelumnya.
Kali ini, tradisi itu sudah tidak kutemukan. Para penumpang bersandar dengan nyaman.
Tak lama berselang, puluhan pedagang kaki lima menaiki bus. Menawarkan beragam jajanan untuk mudik seperti apel, beragam jenis minuman sampai majalah remaja. "Apelnya tawwa, apelnya tawwa," kata seorang pedagang yang masih berusia belia.
Mereka pun turun dari bus, seiring suara mesin bus yang mengawali perjalanan panjang ke kampung halaman. Aku bersandar dan menghela nafas, sepinya penumpang membuatku lebih tenang.
Tak lagi ada keresahan pada kapasitas kendaraan, tak lagi kelelahan karena sesak dengan pemudik lainnya. Dalam angan harapan keselamatan ke kampung halaman cukup besar, meski sesekali tersentak goyangan bus yang tersandung lubang jalanan. (*)
ket foto : http://hagemman.files.wordpress.com/2009/09/mudik-kultural-01.jpg

Comments (0)