Desakan Pemerintah Kota Makassar agar pengelola Pulau Kayangan, PT Putra-Putra Nusantara membayar tunggakannya sebesar Rp 920 juta tampaknya bakal berakhir sia-sia. Pemodal yang dikenai pembayaran royalti wisata Kayangan sejak lima tahun silam itu berkukuh enggan membayar tunggakan.

"Kami tidak akan membayar royalty sebelum perjanjian kerjasama dengan pemerintah direvisi," kata Juru Bicara PT Putra-Putra Nusantara Andi Januar Jaury Darwis di Makassar, (2/3).

Perusahaan menbutuhkan revisi, kata Januar, karena royalty yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Surat Perjanjian Kerjasama tentang Kontrak Pengguna usahaan Pulau bernomor 556.1/023/S.PERTA/DIPARDA dihitung dengan asumsi bahwa pulau akan dijadikan sarana hiburan seperti lokalisasi dan ketangkasan. Sehingga, jumlah royaltynya cukup besar.

Perhitungan royalty itu adalah hasil perjanjian kerjasama antara Pemerintah dengan Investor dari Negara Singapura yang sebelumnya mengelola Pulau Kayangan. Namun investor itu memilih hengkang, sehingga diambil alih oleh PT Putra Putra Nusantara.

Januar yang juga Ketua Partai Demokrat Makassar itu menuturkan, perusahaannya berniat mengelola Pulau dengan visi menyelamatkan Kayangan dari ajang prostitusi dan ketangkasan. "Kami masuk (sebagai pengelola) karena prihatin dengan kebijakan pemerintah," katanya.

Keinginan itu dilandasi syarat bahwa pemerintah merevisi Perjanjian Kerjasama dengan menghapus fungsi pulau sebagai lokalisasi, kemudian menggantinya sebagai pusat wisata bertaraf nasional. Pemerintah juga diminta agar menghitung kembali royalty yang harus disetor perusahaannya.

Karena mendapat sinyal positif, kata Januar, Tahun 2005 pihaknya menggelontorkan dana sebesar Rp 5 miliar untuk menata keamanan Pulau dari ancaman abrasi seperti membuat tanggul termasuk membangun sekitar 35 unit penginapan.

Namun, kata Januar, permintaan perusahaannya untuk merevisi aturan dipandang sebelah mata. Upaya perusahaan untuk melobi melalui pertemuan secara berkesinambungan dengan pemerintah kota sejak 2007 tidak menuai hasil sampai sekarang. "Kok tidak profesional, ini ada apa. Terang kami merasa tertipu dengan kebijakan pemerintah," katanya bernada kesal.

Disisi lain, Januar melanjutkan, kewajiban pengusaha membayar royalty terus bertambah. Dalam surat perjanjian, royalty yang harus dibayar mengalami kenaikan setiap tahunnya. Misalnya Tahun 2005 sebesar Rp 148 juta, 2006 naik menjadi Rp 164 juta, 2007 sebesar Rp 182 juta, 2008 sebesar Rp 202 juta, dan 2009 sebesar Rp 224 juta.

Ia mengaku tidak mampu membayar royalty, sebab keuntungan yang diperoleh habis untuk membiayai pemeliharaan pulau dan penginapan, serta membayar puluhan karyawannya. "Modal yang kami gelontorkan saja belum kembali sampai sekarang," katanya.

Namun demikian, ia menilai Perusahaannya bisa saja membayar royalty apabila pemerintah mengeluarkan izin agar pulau dijadikan lokalisasi dan ketangkasan. Namun pemerintah enggan mengeluarkan izin tersebut.

"Padahal hak pemerintah kota sesuai perjanjian kerjasama adalah membantu pengelola dalam menyiapkan aturan pengelolaan Pulau," katanya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Makassar, Rusmayani Majid mengaku telah menggelar pertemuan khusus dengan pengelola Pulau Kayangan. Kesimpulan pertemuan itu adalah pemerintah kota menyerahkan penuh keputusan terhadap Badan Pemeriksa Keuangan.

Badan Pemeriksa, kata Rusmayani, akan mengaudit pengelolaan Pulau mulai pekan ini. Hasil auditnya akan menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan terhadap pengelola. "BPK akan merumuskan, apakah pengelola harus membayar royalty secara penuh, secara kredit, atau ada usulan lain," katanya.

Informasi yang diperoleh Rusmayani, Badan Pemeriksa akan mengeluarkan hasil auditnya pekan ini juga. "Kami ini selalu mencari jalan yang baik," katanya.

Januar mengaku telah diaudit oleh Badan Pemeriksa, seluruh berkas yang menyangkut pengelolaan pulau telah disetor kepada mereka. Tetapi ia menekankan, apabila Badan Pemeriksa mengisyaratkan agar pihaknya membayar royalty maka akan ditolak. "Kami tetap komitmen awal, harus ada revisi dulu," katanya.

TRI SUHARMAN

Berita ini terbit di Koran Tempo Makassar 3 Maret 2010. Belum melalui editing
Sumber foto : http://1.bp.blogspot.com/

Comments (0)