Dari Training Investigasi Anggaran Kopel Uni Eropa

KULI tinta atau wartawan, seyogyanya memberi kabar yang baik untuk kemaslahatan orang banyak. Namun, apa jadinya jika wartawan malah menulis berita yang membuat masyarakat resah. Apalagi sambil "membunuh" seseorang dengan tulisannya.

LAPORAN: Trie Suharamn

Hal inilah yang coba ditekankan Pemimpin Redaksi Harian Fajar, Sukriansyah S Latief saat tampil sebagai pembicara dalam Training Invesitigasi Anggaran yang dilaksanakan Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Sulawesi bekerja sama dengan Uni Eropa di Hotel Quality,
Senin, 27-04-2009.
Sesaat sebelum menyudahi materinya tentang metodologi wawancara dan investigasi, Uki --sapaan akrab Sukriansyah--mengatakan, wartawan paling banyak masuk neraka karena ulah mereka sendiri. Wartawan yang masuk neraka adalah wartawan yang menulis berita berpotensi menciderai orang, sehingga menimbulkan rasa benci dan sakit hati.
"Apalagi kalau tulisannya tidak benar, misalnya ditulis korupsi tapi ternyata tidak. Makanya wartawan paling banyak masuk neraka," ungkap Uki yang tak bermaksud menakut-nakuti wartawan. Uki hanya ingin agar sebelum menulis berita wartawan harus betul-betul membuktikan keakuratan informasi.

Menurut alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) ini, obyek berita akan menjadi menakutkan bila terkait masalah hukum seperti tindak pidana korupsi. Tidak hanya pribadi, berita korupsi menyangkut seseorang juga akan berpengaruh pada keluarga sampai interaksi di masyarakat luas.
Olehnya itu, Uki menilai sebaiknya insan pers harus teliti dalam menyajikan berita. Pendalaman berita harus maksimal, penuh referensi dan tak lepas dari fakta yang ada. Jangan sampai tidak didasari analisis yang tepat, sehingga menimbulkan berita yang tidak benar.
"Tidak hanya menciderai obyek berita, tapi bisa mengakibatkan wartawan dijerat kasus hukum," ungkapnya sembari mengatakan bahwa wartawan yang menyajikan informasi yang baik dekat dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran yang benar.
Sementara itu, Konsultan Program Kopel Winarso yang membawa materi tentang potensi kebocoran anggaran di pemerintahan mengatakan, adanya kebocoran anggaran disebabkan banyak faktor.
Tidak hanya faktor kesengajaan untuk meraup keuntungan, tapi kebocoran anggaran juga terjadi karena ketidaktahuan aparat pemerintahan dalam menyusun anggarannya.
"Karena tidak tahu menyusun anggaran, banyak proyek yang mubasir," kata Winarso.
Lebih parah lagi, lanjut Winarso, kalau legislatif sebagai kontroler tidak mengetahui jelas teknik penyusunan anggaran. Akibatnya, Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) tidak memiliki asas manfaat untuk masyarakat. APBD malah berimplikasi untuk kepentingan para pejabat saja.
Pria yang juga berprofesi sebagai dosen ini meragukan independensi dan pengetahuan tim auditor (pengaudit kas negara). Hal itu terjadi karena Winarso yang mengaku pernah terjun langsung dalam proses audit mengatakan terkadang ada kasus yang sengaja ditutupi.

Comments (0)